Mestinya pemerintah sudah meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Indonesia ini sudah terhina betul dengan tidak mau meratifikasi kesepakatan dunia. "Negara sangat tidak beradab karena pemerintahnya tidak mau melindungi rakyatnya," kata sosiolog Imam Prasodjo dalam diskusi publik bertema Pengendalian Tembakau Ditinjau dari Sisi Agama dan Sosial di Jakarta, Kamis (19/6).
Pada diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan bekerjasama dengan KBR68H, juga ditampilkan pembicara Prof KH Ali Mustafa Yaqub, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Menurut Ali Mustafa, Komisi Fatwa MUI sudah mengagendakan untuk membahas persoalan rokok di musyawarh fatwa. "Sebenarnya ini tidak lama, prediksi saya akan dikeluarkan fatwa tentang merokok. Menurut saya, untuk meninggalkan rokok sebenarnya tidak perlu menunggu fatwa MUI, karena sudah jelas mudaratnya," kata KH Ali Mustafa.
Sementara Imam Prasodjo mengatakan, bukan berarti rokok itu haram. Akan tetapi, kebiasaan mengonsumsi zat adiktif seperti rokok itulah yang haram, karena itu sudah seperti narkoba. "Secara ekonomi buat apa kita beli sesuatu yang tidak berguna di tengah ekonomi yang kian sulit," kata Imam.
"Rokok adalah zat adiktif yang membuat orang ketagihan. Jika orang sudah merokok aktif, maka akan sangat sulit menghentikannya. Mereka para perokok ini adalah korban. Bagaimana keluar dari jebakan rokok jika infrastruktur tidak menunjang? Iklan rokok tetap diperbolehkan," ujar Imam.
Karena itu sudah saatnya pemerintah Indonesia meratifikasi FCTC yang telah diratifikasi oleh ratusan negara di dunia. Di dalam FCTC inilah terdapat pasal-pasal mengenai pembatasan iklan, pictorial health warning di bungkus rokok.
Industri rokok juga jangan ofensif masuk ke ruang-ruang publik secara sembarangan. "Di Aceh saya pernah melihat ada papan nama RS yang tertulis sponsor rokok. Ini gila! Pemerintah mengizinkan hal-hal seperti ini kan aneh?," kata Imam Prasodjo.