Industri rokok di Indonesia terbukti mengeksploitasi keluarga miskin di perkotaan melalui adiksi terhadap tembakau dalam rokok. Berdasar data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005-2006, sekitar 78,8 persen kepala keluarga rumah tangga miskin perkotaan adalah perokok. Demikian dikatakan anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi pada Kompas.com dalam jumpa pers di Tea Addict, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (3/7).
Menurut Tulus, pengeluaran keluarga miskin tersebut untuk rokok per minggu 22 persen lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli beras sebesar 19 persen."Kelompok pendapatan terendah (20 persen rumah tangga yang berpendapatan terendah) membelanjakan 12 persen pengeluaran bulanannya untuk membeli rokok, padahal kelompok berpendapatan tertinggi hanya membelanjakan 9,25 persen," ujarnya.
Sedangkan menurut Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo, pemerintah hanya beralasan saja kalau pendapatan industri rokok penyumbang pendapatan terbesar. Menurut Widyastuti, berdasar data dari APBN dan Dirjen Cukai yang dikutip oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), penerimaan cukai tembakau hanya lima persen dari APBN dari tahun 1997-2007. "Ya, dari situ terlihat ketidakseriusan pemerintah dan membuat-buat alasan dalam mengatasi persoalan ini," tuturnya.