JUMLAH penderita gangguan jiwa di daerah perkotaan terus meningkat seiring dengan makin beratnya tekanan hidup, baik secara ekonomi maupun sosial seiring dengan menaiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Mereka umumnya mengalami gangguan psikologis dan perilaku sehingga menurunkan produktivitas mereka dan menghambat interaksi sosial dengan lingkungan sekitar.
"BBM itu faktor dominonya kemana-mana. Harga-harga makin naik, sehingga banyak orang depresi," kata Sekretaris Rumah Sakit Jiwa/RSJ Menur Provinsi Jawa Timur dr Hendro Riyanto yang sedang berada di Jakarta, Rabu (9/7).
Di RSJ Menur menurut Kepala Sub Bidang Rekam Medik dan Informasi Bambang Nuji, jumlah pasien rawat inap di RSJ mengalami peningkatan terutama pada bulan Mei 2008 yakni mencapai 200 pasien. Ini adalah angka tertinggi selama satu semester 2008 untuk pasien rawat inap. Januari 2008 sebanyak 182 pasien, Februari 2008 158 pasien, Maret 2008 179 pasien, April 2008 188 pasien, Mei 2008 200 pasien dan Juni 2008 165 pasien.
Sedangkan untuk pasien rawat jalan di bulan Januari 2008 sebanyak 2.151 kunjungan, Februari 2008 1.923 kunjungan, Maret 2008 1.958 kunjungan, April 2008 1.152 kunjungan, Mei 2008 2.121 kunjungan, Juni 2008 2.141 kunjungan.
"Total pasien rawat inap Januari-Juni 2008 sebanyak 1.072, dan pasien rawat jalan Januari-Juni 2008 ada 12.445 kunjungan," kata Bambang Nuji. Hendro Riyanto mengatakan, menaiknya jumlah pasien di RSJ juga akibat penggunaan kartu Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin/Askeskin, sehingga mereka bisa berobat gratis.
"90 persen pasien yang menderita gangguan jiwa ini adalah orang miskin, dan 70 persen di antaranya disebabkan karena masalah ekonomi, seperti menganggur, korban Pemutusan Hubungan Kerja/PHK sehingga keluarganya terlantar dan dia terganggu jiwanya," kata Hendro Riyanto
Selain itu, persoalan yang kini terjadi di Surabaya adalah makin banyaknya gelandangan psikotik yang berkeliaran di kota Surabaya karena tidak diurus keluarga mereka. Mereka ini ditampung di Dinas Sosial. Jumlahnya ada 600 orang. Kalau kondisinya parah, baru mereka dibawa ke RSJ Menur untuk berobat, kata Hendro Riyanto.
Untuk itu, dr Fidiansyah SpKJ, Wakil Direktur Medik Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan Jakarta, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/7), menyatakan pemerintah seharusnya meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini bisa ditempuh dengan menempatkan kesehatan jiwa sebagai salah satu kesehatan dasar yang harus diberikan di setiap pusat kesehatan masyarakat.
Saat ini, jumlah penderita gangguan jiwa ringan dan sedang sangat banyak di kalangan masyarakat. Diperkirakan, 20-30 persen dari total populasi penduduk di perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan dan berat. Selain itu, sekitar satu persen dari total jumlah penduduk mengalami gangguan jiwa berat sehingga harus mendapat pengobatan di rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan jiwa lain.
Sayangnya, sampai saat ini jumlah penderita gangguan jiwa yang telah mendapat pengobatan masih sangat terbatas. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan jiwa, kami mengadakan mobil keliling pelayanan kesehatan jiwa yang mengunjungi puskesmas-puskesmas di Jakarta. Selain mendeteksi warga yang mengalami gangguan jiwa, mobil keliling ini juga untuk mempermudah pasien yang sudah selesai dirawat di rumah sakit jiwa untuk kontrol secara teratur, ujarnya.
Penderita gangguan jiwa harus kontrol secara teratur untuk mengatasi gangguan neurotransmiter di dalam tubuhnya. Jika tidak berobat secara teratur dengan dosis yang sangat kecil, maka penderita bisa mengalami kekambuhan. Penderita gangguan jiwa itu seperti penyakit lain yang membutuhkan pengobatan dalam jangka panjang. "Kondisi kesehatan jiwanya harus terus dikontrol agar bisa beraktivitas sehari-hari secara normal," kata Fidiansyah.
Penyebab gangguan kejiwaan itu multifaktor, bukan hanya karena tekanan ekonomi, ujarnya menambahkan. Jika penderita gangguan jiwa ringan dan berat tidak segera ditangani, maka gejalanya akan bertambah berat dan bisa mengakibatkan munculnya perilaku anarkhis dalam menghadapi persoalan pribadi dan sosial. Hal ini bisa dilihat dalam sejumlah kerusuhan yang dilakukan sekelompok masyarakat.