PERNAHKAH kita menyadari diri saat marah, sedih, cemas, gelisah, kecewa, dan saat segala macam perasaan tidak menyenangkan muncul? Kalau pernah, bagaimanakah napas kita saat itu? Tentu, napas kita pendek-pendek dan bahkan bisa tersengal-sengal.
Dan ternyata gejalanya bisa jadi tidak hanya sampai di situ saja. Kita mungkin pernah berkeringat dingin saat merasa takut, sakit perut saat demam panggung, diare saat mau ujian, jantung berdetak cepat saat marah, takut dan sebagainya. Keadaan semacam dalam bahasa psikologi disebut psikosomatis.
Seorang profesor yang juga spesialis kanker dari Institute Rotary Cancer Hospital, New Delhi, India, Vinod Kochupillai menyebutkan, gejala-gejala ini menandakan bahwa pikiran, kondisi emosi seseorang mempengaruhi badan. “Pikiran dan tubuh itu menyatu,” ujar professor yang telah menghasilkan 150 tulisan ilmiah di jurnal nasional dan internasional.
Vinod melanjutkan, ketika kita mulai sadar bahwa kita sedang marah atau mengalami emosi yang tidak menyenangkan, ada baiknya langsung menenangkan diri. Caranya, dengan menarik napas dalam terus menerus.
Dalam meditasi, yoga dan berbagai aliran senam pernapasan diajarkan bagaimana bernapas dalam. Selama berabad-abad, banyak orang suci dan para rishi menyarankan latihan yoga, meditasi, pranayam untuk mencegah atau memperbaiki reaksi kita terhadap stres.
Bernapas itu makanan penting untuk semua makhluk. Secara fisik, manusia bisa hidup tanpa makanan dan minum dalam waktu agak lama, misalnya tiga hari bahkan empat minggu. Namun, bila tanpa oksigen, sehari saja kita bisa mati.
Oksigen (O2) yang kita hirup digunakan untuk membakar makanan yang masuk dalam tubuh supaya menghasilkan energi. Sisa pembakaran berupa karbondioksida (CO2) dikeluarkan lewat paru-paru. Tanpa oksigen, sel-sel tubuh tidak akan berfungsi. Semakin lama tanpa oksigen, semakin rusak sel-sel tubuh. Artinya, tinggal kematian saja.
Pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 berlangsung karena adanya otot-otot diafragma (sekat rongga badan), otot-otot rongga dada dan perut yang memungkinkan paru-paru mengembang (menghisap udara) dan mengempis (mengeluarkan udara).
Ketika kita bernapas, udara masuk lewat hidung, tenggorokan, kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai alveoli (kantong udara pada paru-paru) oksigen berdifusi atau menyebar melalui membran alveoli kapiler yang sangat tipis yang terdiri dari jaringan membran alveoli dan dinding kapiler pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, semua oksigen akan diikat oleh hemoglobin sel darah merah selanjutnya disebarkan ke sel-sel di seluruh tubuh. Sementara itu, sisa hasil pembakaran dari sel yang berupa gas CO2 akan dibawa sel darah merah lewat membran alveoli kapiler ke alveoli. Selanjutnya dikeluarkan ke udara bebas.
Semakin banyak oksigen yang kita hirup secara teratur setiap hari, sel-sel tubuh akan mengalami regenerasi. Sel-sel tidak menjadi lapar akan oksigen dan selalu muda. Menurut Prof. Vinod, bernapas dalam, memungkinkan pasokan oksigen ke otak, sistem saraf dan seluruh tubuh tercukupi. “Akibatnya kita menjadi tenang, bahagia, dan merasakan nikmat yang luar biasa. Keadaan ini muncul akibat otak menyemprotkan saripati kenikmatan dalam tubuh karena kedua belah otak berada dalam keseimbangan. Kesenangan emosional ini akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Tubuh menjadi sehat. Sel-sel yang rusak misalnya akibat kanker bisa diperbaiki.,” ujar Kepala Departmen of Medical Oncology All Indian Institute of Medical Sciences, New Delhi ini.
Sebaliknya, ketegangan emosional semisal stres yang berkepanjangan mengakibatkan terjadinya kontraksi otot dada, bahu, punggung, leher, muka, dan diafragma. Akibatnya gerakan otot diafragma menjadi terganggu. Napas pendek dan cepat, bahkan sistem kardiovaskular (pembuluh darah dan jantung) kita juga terganggu. Efeknya, pasokan oksigen ke seluruh tubuh menipis.
Ini artinya irama pernapasan merupakan salah satu petunjuk fisik paling jelas atas keadaan emosional dan mental seseorang. Penurunan oksigen menimbulkan respon “lawan” dari sistem saraf dan ini akan menciptakan sensasi fisik dan rangsangan saraf yang mengganggu aktivitas otak. Ketidakseimbangan otak akan terwujud berbentuk misalnya konsentrasi buruk, panik, gelisah, cemas, tegang.
Dalam keadaan demikian, otak yang diwakili sistem limbic berupa kelenjar pituitary, amygdala, dan hippocampus akan mengeluarkan hormon stres (kortisol, kortikosteroid, katekolamin). Padahal hormon-hormon ini menyebabkan tekanan terhadap sistem kekebalan dan bahkan kekacauan metabolisme tubuh.
Dalam kasus esktrim, keadaan tersebut bisa menyebabkan orang menjadi kecanduan terhadap tembakau, alcohol, juga narkotika karena bahan-bahan di dalamnya mengandung zat penenang.
Bila serangan stres terjadi berulang dan menjadi kronis, dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang permanen. Munculah penyakit seperti darah tinggi, diabetes, jantung koroner, asma, gastrointestinal (saluran pencernaan), infeksi, migrain, sakit kepala, dan lain-lain.”Ini karena depresi menekan produksi limposit dan menurunkan fungsi kekebalan,” jelas Vinod.
HDL Meningkat
Maka, Prof. Vinod kemudian menekankan agar kita berhati-hati terhadap emosi negatif yang muncul di dalam diri kita. Menurutnya, kecemasan, sikap bermusuhan, sikap menyerang, perasaan kesepian, amarah akan mempengaruhi kesehatan kita.
Banyak orang di dunia sekarang ini menderita penyakit dan kekacauan mental. Ini akibat kehabisan napas karena pernapasan yang tidak benar, kurang berolahraga, gizi yang buruk, polusi diri (tembakau, obat-obatan, pengawet) dan polusi lingkungan. Sel-sel tubuh akan lapar dengan oksigen sebagai bahan bakar utama.
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa penyakit seperti kanker, jantung, paru-paru dan AIDS dapat diperbaiki melalui pemberian oksigen yang sesuai kepada sel-sel. “Yah, paling tidak kualitas hidup penderita diperbaiki dan hidupnya diperlama,” ujar Prof. Vinod.
Dalam sebuah penelitian di beberapa institusi semisal di All Indian Institute of Medical Sciences, India, Prof. Vinod mencobakan sebuah teknik pernapasan yang dikembangkan oleh tokoh spritual India, Sri Sri Ravi Shankar bernama Sudharsan Kriya dan Pranayam (Sk-P).
Dari 21 individu sehat berusia 35-50 tahun yang melakukan metode SK-P selama 70 menit ditemukan penurunan kadar cortisol darah (hormon stress). Sebelum melakukan teknik SKP ditemukan kadar kortisol darah pada para individu itu antara 169- 375. Setelah latihan, kadar kortisol menjadi 83- 223.
Penelitian lain berlangsung dengan mengikutsertakan 10 orang polisi yang sedang menjalani penggojlokan. Selama sebulan pelatihan, stress tinggi ditunjukan dengan kadar laktat darah para polisi mencapai angka sekitar 0,64 mmoles/L. Ini karena mereka tidak menggunakan teknik SK-P. Setelah sebulan kemudian melakukan SK-P, kadar laktat darah para polisi menurun menjadi 0,55 mmoles/L.
Dalam penelitian lain lagi yang dilakukan di Bangalore Medical College, Vinod sekali lagi membuktikan keampuhan bernapas model ini. Selama tujuh hari, seseorang diminta melakukan teknik SK-P. Akibatnya, terjadi penurunan kolesterol serum totalnya. Dari mulai 118,32 mg% menjadi 91,75mg%. Sementara kolesterol HDLnya meningkat dari 43,17 mg5 menjadi 46,55 mg%. Kemudian latihan ditingkatkan menjadi 45 hari. Hasilnya, koletesrol total menurun lagi menjadi 74,72 mg% dan HDL meningkat menjadi 51,51 mg%.
Otak Berjalan
Sebenarnya, sudah sejak lama, berbagai penelitian ilmiah menegaskan bahwa antara tubuh dan pikiran saling berkaitan. Sehingga muncul ilmu yang disebut Psychoneuroimmunology (Psycho artinya mental, neuro artinya system saraf, dan immunology artinya system kekebalan tubuh) atau Mind-Body Medicine.
Dr. Candace Pert, mantan Ketua Bidang Kimia Otak pada Institut Nasional Kesehatan Jiwa, Universitas California, Amerika Serikat, menyebutkan, sel-sel saraf dalam otak kita bekerja karena rangsangan peristiwa fisik atau psikologis. Misalnya, ketika kita mendapat serangan beruang atau menerima kritik tajam, neuropeptide yang berada dalam sel-sel tubuh segera menyampaikan laporan melalui reseptornya di sumsum lanjutan (medulla oblongata) ke otak.
Dengan kelenjar pineal sensitif yang dipunyainya, otak dengan segera memerintahkan penyemprotan hormon tertentu supaya tubuh aman, misalnya endorfin disemprot supaya rasa sakit bisa ditahan. Begitu seterusnya
Contoh lain, saat seseorang mendapat kabar gembira atau sedang dalam keadaan bernapas dalam, sebuah sel saraf menyemprotkan opiate peptides atau saripati kenikmatan. Efek yang dialami dalam sel saraf di seluruh system secara bersamaan adalah rasa nikmat.
“Jadi dalam tubuh kita sendiri sebenarnya sudah terdapat pabrik obat yang mampu memproduksi obat-oatan yang mengatur suasana hati dan jenis obat psikoaktif,” ujar Candace.
Candace menyatakan, para ahli biokimia telah menemukan hampir 100 penyampai pesan biokimia ini membentuk sebuah jaringan informasi dalam tubuh atau pikiran dengan menghubungkan pikiran, emosi, dan sistem kekebalan.
Otak, kelenjar dan system kekebalan tubuh dihubungkan oleh jaringan informasi neuropeptide dan reseptor yang luar biasa. “Dalam hal ini, kita bisa menyebut neuropeptide dan reseptor itu sebagai otak yang dapat berjalan,” ujar Prof. Vinod menegaskan.
Karena itu, membuat otak selalu seimbang adalah hal penting buat kita. Menjaga agar otak selalu terasup oksigen secara cukup bahkan penuh adalah langkah menjaga agar kedua belah otak menjadi seimbang sehingga fungsinya berjalan optimal.
Richard Leviton, dalam bukunya Brain Builders menyebutkan bahwa orang yang mengalami gelombang otak alpha (7-14 Hz) melaporkan bahwa perasaannya nikmat, rileks, kesadaran meningkat dan emosi stabil. Dalam keadaan seperti ini otak akan sanggup membuat tubuh tetap dalam kondisi sehat karena produksi hormon kekebalan tubuh lancar dan tidak terganggu metabolisme.
Lain halnya bila otak sudah kehabisan tenaga dan bahan bakar (oksigen) akibat pernapasan pendek dan tersendat terus menerus. Gangguan ini menyebabkan kekacauan di otak. Akibatnya produksi hormon-hormon kekebalan yang melindungi tubuh juga kacau dan tersendat. Kita bahkan dapat mengubah keadaan gelombang otak ini sesuai keinginan dengan melakukan teknik semacam meditasi.
Dan ternyata gejalanya bisa jadi tidak hanya sampai di situ saja. Kita mungkin pernah berkeringat dingin saat merasa takut, sakit perut saat demam panggung, diare saat mau ujian, jantung berdetak cepat saat marah, takut dan sebagainya. Keadaan semacam dalam bahasa psikologi disebut psikosomatis.
Seorang profesor yang juga spesialis kanker dari Institute Rotary Cancer Hospital, New Delhi, India, Vinod Kochupillai menyebutkan, gejala-gejala ini menandakan bahwa pikiran, kondisi emosi seseorang mempengaruhi badan. “Pikiran dan tubuh itu menyatu,” ujar professor yang telah menghasilkan 150 tulisan ilmiah di jurnal nasional dan internasional.
Vinod melanjutkan, ketika kita mulai sadar bahwa kita sedang marah atau mengalami emosi yang tidak menyenangkan, ada baiknya langsung menenangkan diri. Caranya, dengan menarik napas dalam terus menerus.
Dalam meditasi, yoga dan berbagai aliran senam pernapasan diajarkan bagaimana bernapas dalam. Selama berabad-abad, banyak orang suci dan para rishi menyarankan latihan yoga, meditasi, pranayam untuk mencegah atau memperbaiki reaksi kita terhadap stres.
Bernapas itu makanan penting untuk semua makhluk. Secara fisik, manusia bisa hidup tanpa makanan dan minum dalam waktu agak lama, misalnya tiga hari bahkan empat minggu. Namun, bila tanpa oksigen, sehari saja kita bisa mati.
Oksigen (O2) yang kita hirup digunakan untuk membakar makanan yang masuk dalam tubuh supaya menghasilkan energi. Sisa pembakaran berupa karbondioksida (CO2) dikeluarkan lewat paru-paru. Tanpa oksigen, sel-sel tubuh tidak akan berfungsi. Semakin lama tanpa oksigen, semakin rusak sel-sel tubuh. Artinya, tinggal kematian saja.
Pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 berlangsung karena adanya otot-otot diafragma (sekat rongga badan), otot-otot rongga dada dan perut yang memungkinkan paru-paru mengembang (menghisap udara) dan mengempis (mengeluarkan udara).
Ketika kita bernapas, udara masuk lewat hidung, tenggorokan, kemudian ke paru-paru. Setelah mencapai alveoli (kantong udara pada paru-paru) oksigen berdifusi atau menyebar melalui membran alveoli kapiler yang sangat tipis yang terdiri dari jaringan membran alveoli dan dinding kapiler pembuluh darah.
Dalam keadaan normal, semua oksigen akan diikat oleh hemoglobin sel darah merah selanjutnya disebarkan ke sel-sel di seluruh tubuh. Sementara itu, sisa hasil pembakaran dari sel yang berupa gas CO2 akan dibawa sel darah merah lewat membran alveoli kapiler ke alveoli. Selanjutnya dikeluarkan ke udara bebas.
Semakin banyak oksigen yang kita hirup secara teratur setiap hari, sel-sel tubuh akan mengalami regenerasi. Sel-sel tidak menjadi lapar akan oksigen dan selalu muda. Menurut Prof. Vinod, bernapas dalam, memungkinkan pasokan oksigen ke otak, sistem saraf dan seluruh tubuh tercukupi. “Akibatnya kita menjadi tenang, bahagia, dan merasakan nikmat yang luar biasa. Keadaan ini muncul akibat otak menyemprotkan saripati kenikmatan dalam tubuh karena kedua belah otak berada dalam keseimbangan. Kesenangan emosional ini akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Tubuh menjadi sehat. Sel-sel yang rusak misalnya akibat kanker bisa diperbaiki.,” ujar Kepala Departmen of Medical Oncology All Indian Institute of Medical Sciences, New Delhi ini.
Sebaliknya, ketegangan emosional semisal stres yang berkepanjangan mengakibatkan terjadinya kontraksi otot dada, bahu, punggung, leher, muka, dan diafragma. Akibatnya gerakan otot diafragma menjadi terganggu. Napas pendek dan cepat, bahkan sistem kardiovaskular (pembuluh darah dan jantung) kita juga terganggu. Efeknya, pasokan oksigen ke seluruh tubuh menipis.
Ini artinya irama pernapasan merupakan salah satu petunjuk fisik paling jelas atas keadaan emosional dan mental seseorang. Penurunan oksigen menimbulkan respon “lawan” dari sistem saraf dan ini akan menciptakan sensasi fisik dan rangsangan saraf yang mengganggu aktivitas otak. Ketidakseimbangan otak akan terwujud berbentuk misalnya konsentrasi buruk, panik, gelisah, cemas, tegang.
Dalam keadaan demikian, otak yang diwakili sistem limbic berupa kelenjar pituitary, amygdala, dan hippocampus akan mengeluarkan hormon stres (kortisol, kortikosteroid, katekolamin). Padahal hormon-hormon ini menyebabkan tekanan terhadap sistem kekebalan dan bahkan kekacauan metabolisme tubuh.
Dalam kasus esktrim, keadaan tersebut bisa menyebabkan orang menjadi kecanduan terhadap tembakau, alcohol, juga narkotika karena bahan-bahan di dalamnya mengandung zat penenang.
Bila serangan stres terjadi berulang dan menjadi kronis, dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang permanen. Munculah penyakit seperti darah tinggi, diabetes, jantung koroner, asma, gastrointestinal (saluran pencernaan), infeksi, migrain, sakit kepala, dan lain-lain.”Ini karena depresi menekan produksi limposit dan menurunkan fungsi kekebalan,” jelas Vinod.
HDL Meningkat
Maka, Prof. Vinod kemudian menekankan agar kita berhati-hati terhadap emosi negatif yang muncul di dalam diri kita. Menurutnya, kecemasan, sikap bermusuhan, sikap menyerang, perasaan kesepian, amarah akan mempengaruhi kesehatan kita.
Banyak orang di dunia sekarang ini menderita penyakit dan kekacauan mental. Ini akibat kehabisan napas karena pernapasan yang tidak benar, kurang berolahraga, gizi yang buruk, polusi diri (tembakau, obat-obatan, pengawet) dan polusi lingkungan. Sel-sel tubuh akan lapar dengan oksigen sebagai bahan bakar utama.
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa penyakit seperti kanker, jantung, paru-paru dan AIDS dapat diperbaiki melalui pemberian oksigen yang sesuai kepada sel-sel. “Yah, paling tidak kualitas hidup penderita diperbaiki dan hidupnya diperlama,” ujar Prof. Vinod.
Dalam sebuah penelitian di beberapa institusi semisal di All Indian Institute of Medical Sciences, India, Prof. Vinod mencobakan sebuah teknik pernapasan yang dikembangkan oleh tokoh spritual India, Sri Sri Ravi Shankar bernama Sudharsan Kriya dan Pranayam (Sk-P).
Dari 21 individu sehat berusia 35-50 tahun yang melakukan metode SK-P selama 70 menit ditemukan penurunan kadar cortisol darah (hormon stress). Sebelum melakukan teknik SKP ditemukan kadar kortisol darah pada para individu itu antara 169- 375. Setelah latihan, kadar kortisol menjadi 83- 223.
Penelitian lain berlangsung dengan mengikutsertakan 10 orang polisi yang sedang menjalani penggojlokan. Selama sebulan pelatihan, stress tinggi ditunjukan dengan kadar laktat darah para polisi mencapai angka sekitar 0,64 mmoles/L. Ini karena mereka tidak menggunakan teknik SK-P. Setelah sebulan kemudian melakukan SK-P, kadar laktat darah para polisi menurun menjadi 0,55 mmoles/L.
Dalam penelitian lain lagi yang dilakukan di Bangalore Medical College, Vinod sekali lagi membuktikan keampuhan bernapas model ini. Selama tujuh hari, seseorang diminta melakukan teknik SK-P. Akibatnya, terjadi penurunan kolesterol serum totalnya. Dari mulai 118,32 mg% menjadi 91,75mg%. Sementara kolesterol HDLnya meningkat dari 43,17 mg5 menjadi 46,55 mg%. Kemudian latihan ditingkatkan menjadi 45 hari. Hasilnya, koletesrol total menurun lagi menjadi 74,72 mg% dan HDL meningkat menjadi 51,51 mg%.
Otak Berjalan
Sebenarnya, sudah sejak lama, berbagai penelitian ilmiah menegaskan bahwa antara tubuh dan pikiran saling berkaitan. Sehingga muncul ilmu yang disebut Psychoneuroimmunology (Psycho artinya mental, neuro artinya system saraf, dan immunology artinya system kekebalan tubuh) atau Mind-Body Medicine.
Dr. Candace Pert, mantan Ketua Bidang Kimia Otak pada Institut Nasional Kesehatan Jiwa, Universitas California, Amerika Serikat, menyebutkan, sel-sel saraf dalam otak kita bekerja karena rangsangan peristiwa fisik atau psikologis. Misalnya, ketika kita mendapat serangan beruang atau menerima kritik tajam, neuropeptide yang berada dalam sel-sel tubuh segera menyampaikan laporan melalui reseptornya di sumsum lanjutan (medulla oblongata) ke otak.
Dengan kelenjar pineal sensitif yang dipunyainya, otak dengan segera memerintahkan penyemprotan hormon tertentu supaya tubuh aman, misalnya endorfin disemprot supaya rasa sakit bisa ditahan. Begitu seterusnya
Contoh lain, saat seseorang mendapat kabar gembira atau sedang dalam keadaan bernapas dalam, sebuah sel saraf menyemprotkan opiate peptides atau saripati kenikmatan. Efek yang dialami dalam sel saraf di seluruh system secara bersamaan adalah rasa nikmat.
“Jadi dalam tubuh kita sendiri sebenarnya sudah terdapat pabrik obat yang mampu memproduksi obat-oatan yang mengatur suasana hati dan jenis obat psikoaktif,” ujar Candace.
Candace menyatakan, para ahli biokimia telah menemukan hampir 100 penyampai pesan biokimia ini membentuk sebuah jaringan informasi dalam tubuh atau pikiran dengan menghubungkan pikiran, emosi, dan sistem kekebalan.
Otak, kelenjar dan system kekebalan tubuh dihubungkan oleh jaringan informasi neuropeptide dan reseptor yang luar biasa. “Dalam hal ini, kita bisa menyebut neuropeptide dan reseptor itu sebagai otak yang dapat berjalan,” ujar Prof. Vinod menegaskan.
Karena itu, membuat otak selalu seimbang adalah hal penting buat kita. Menjaga agar otak selalu terasup oksigen secara cukup bahkan penuh adalah langkah menjaga agar kedua belah otak menjadi seimbang sehingga fungsinya berjalan optimal.
Richard Leviton, dalam bukunya Brain Builders menyebutkan bahwa orang yang mengalami gelombang otak alpha (7-14 Hz) melaporkan bahwa perasaannya nikmat, rileks, kesadaran meningkat dan emosi stabil. Dalam keadaan seperti ini otak akan sanggup membuat tubuh tetap dalam kondisi sehat karena produksi hormon kekebalan tubuh lancar dan tidak terganggu metabolisme.
Lain halnya bila otak sudah kehabisan tenaga dan bahan bakar (oksigen) akibat pernapasan pendek dan tersendat terus menerus. Gangguan ini menyebabkan kekacauan di otak. Akibatnya produksi hormon-hormon kekebalan yang melindungi tubuh juga kacau dan tersendat. Kita bahkan dapat mengubah keadaan gelombang otak ini sesuai keinginan dengan melakukan teknik semacam meditasi.