”Ibu, saya (N) istri kedua dari duda (K) dua anak yang ditinggal meninggal istrinya karena suatu penyakit. Saya menikah pada usia 33 tahun dan suami 43 tahun.
Yang menjadi masalah saya, suami saya sangat patuh kepada mantan iparnya (sebut saja U, istri dari kakak kandungnya yang sudah meninggal dunia). Apa pun yang ia kerjakan selalu minta pertimbangan U dan U yang sudah berusia 56 tahun itu pun sangat menguasai suami saya.
Bahkan ketika suami saya mau berangkat ke LN untuk perjalanan dagang, koper suami saya yang mengatur U, dan sepulangnya U juga mendapat perhatian lebih dulu daripada saya. Mulut U sangat manis, sering berkata, tanpa suami saya U tidak bisa hidup, dan rupanya suami saya kena rayuannya.
Saya sering menjadi sangat jengkel dan marah, tetapi alasan suami saya dulu saat kakaknya masih hidup bersama U, suami saya sangat berutang budi. Kecuali U, suami pun lebih mendahulukan keluarganya sendiri, suami sering mudah meminjamkan uang kepada U dan keluarganya, sementara saat saya minta dibelikan mobil bekas yang murah untuk pergi-pulang rumah–ruko sekalipun tidak juga dikabulkan.
Saya kesal, marah, jadi sering bertengkar dan suami saya pun sering memaki saya. Saya sakit hati sehingga saya juga membalas makian. Saya sedih, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, padahal selama delapan tahun perkawinan ini saya membantu pekerjaan suami saya, kami berangkat dari nol, tetapi sampai saat ini suami punya tiga ruko serta dapat mengirim anaknya sekolah ke luar negeri K tidak pernah menghargai apa yang sudah saya lakukan selama berumah tangga dengannya. Apa yang harus saya lakukan, Bu?”
Analisis
Dari uraian kasus di atas, tampak bahwa keintiman relasi tidak terbina antara N dan suaminya K. Tampak jelas tidak terdapat keintiman relasi suami-istri yang benar-benar menyiksa batin N selama ini.
Pertengkaran yang ditandai saling memaki, mencerca, dan melecehkan merupakan makanan sehari-hari, padahal untuk kehidupannya kedua pasangan harus saling membantu.
Dalam kasus ini, walaupun pertengkaran berlanjut, tetapi keduanya pasangan pekerja yang cukup sukses secara materi. Di sisi lain, tampak jelas materi rupanya tidak menjamin relasi suami-istri yang nyaman dan tenteram.
Dari kasus di atas, juga dapat dibayangkan betapa pihak suami pun juga tidak menemukan kenyamanan dalam kebersamaan dengan istrinya, bahkan semakin lekat dengan U dan keluarga besar pihaknya sendiri daripada kepada N, sebagai istrinya. Istri semakin ditinggalkan dan dibiarkan tanpa upaya memenuhi keinginan yang kecil sekalipun, seperti mobil bekas yang murah untuk mobilitas usaha N.
Aksi-reaksi emosi kedua belah pihak semakin membuat peluang perkembangan kadar pertengkaran meningkat. Tentu saja dalam kondisi relasi seperti itu tidak mungkin terjalin keintiman relasi di antara kedua pasangan.
Solusi
Tidak dapat dimungkiri, kedua pasangan tersebut pada dasarnya menginginkan jalinan relasi intim, hangat, dan penuh kasih sehingga seyogianya N mulai mengubah sikap. Perlahan-lahan N dapat mengikuti rangkaian saran seperti berikut ini:
1) N hendaknya mencoba melepas kebencian terhadap U dan mulai memerhatikan cara U berkomunikasi dengan K. Mungkin justru kehalusan tutur kata U-lah yang memegang peranan penting dalam diri K sehingga K menjadi sangat menghargai U serta selalu teringat akan kebaikan U pada masa lalu.
Agaknya memang K adalah pribadi yang membutuhkan pendekatan halus dengan tutur kata baik. Jadi, seyogianya N mulai berlatih bertutur kata manis, tidak memaki, dan tidak secara spontan memberikan perlawanan saat K marah, apalagi saling memaki. Dengan terjadinya perbaikan yang dilakukan N saat memberi respons, diharapkan K mulai memberi perhatian positif kepada N.
2) Menghargai satu sama lain.
Dalam uraian kasus di atas, terkesan seolah K tidak pernah berbuat sesuatu yang baik terhadap N sehingga N selalu dengan spontan menunjukkan sikap konfrontatif, padahal mereka telah hidup bersama selama delapan tahun.
Telusurilah sejarah komunikasi yang selama ini terjalin, pasti dapat ditemukan satu atau dua kebaikan yang telah ditunjukkan K terhadap N atau sebaliknya. Kemudian mulailah berlatih saling menghargai kebaikan dengan cara, misalnya, memberikan senyuman pada saat-saat yang tepat, tegurlah pasangan dengan manis saat pagi hari, atau sesekali ajaklah pasangan duduk bersama untuk membicarakan kesulitan yang dihadapi selama ini. Jadi, hentikanlah konfrontasi, kemarahan, dan mulailah mendengar baik-baik apa yang selama ini menjadi pendapat masing-masing.
3) Membuka komunikasi positif.
Mulailah membuka komunikasi positif dengan pasangan, bila perlu melakukan negosiasi terhadap sesuatu hal. Cobalah lakukan dengan sikap positif. Hentikan kecurigaan bahwa K akan lebih mendahulukan kepentingan U dan keluarga besarnya daripada N.
4) Kebersamaan bersama keluarga besar.
Cobalah sesekali menikmati kebersamaan dengan pasangan beserta keluarga besarnya dengan cara mengawali komunikasi atas dasar sikap positif tanpa curiga, benci, dan sikap bermusuhan.
5) Berikan sentuhan fisik penuh kasih, seperti menggenggam tangan pasangan, mengelus, atau bersandar.
6) Yang terpenting, hendaknya N jangan cepat putus asa saat respons awal K kurang memuaskan. Coba dan cobalah terus, lakukan perubahan dalam berkomunikasi, bersikap dan berpikirlah dengan cara positif.