TAK mau membebani suaminya yang sedang kesulitan modal, Ny Umi (45), istri pedagang bakso yang mengidap sakit maag kronis, mengakhiri hidup dengan gantung diri, Jumat (25/4) siang. Sebelum mengakhiri hidupnya, Umi menyuruh Pani (48), sang suami, untuk ngobrol dengan tetangga agar tak terlalu stres.
Pani shock ketika mendapati wanita yang telah 20 tahun mendampinginya tersebut tergantung di tengah rumah kontrakan mereka di RT 01/02 Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Padahal, 30 menit sebelumnya pasangan yang belum dikaruniai keturunan ini masih bercengkerama. "Saya tak menyangka kalau istri saya akan bunuh diri. Sebab, 30 menit sebelumnya kami masih ngobrol," kata Pani kepada Warta Kota, kemarin siang.
Menurut Pani, bahan obrolan siang itu beban hidup yang semakin berat karena harga minyak tanah dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya makin sulit dijangkau. Menurut Pani, dalam beberapa hari terakhir penyakit maag yang diderita istrinya kambuh. "Dia seharusnya dirawat di rumah sakit, tapi karena kami tidak punya biaya, istri saya cuma istirahat di rumah," kata pria asal Lampung ini lirih. Pani menambahkan, istrinya sudah lama mengidap sakit tukak lambung tersebut.
Lebih lanjut Pani mengatakan, pada Jumat siang itu dirinya tidak berjualan bakso karena uangnya tak cukup untuk modal dagang. Saat itu Pani hanya memegang uang Rp 60.000. Padahal, agar bisa dagang selama sehari, Pani butuh modal Rp 100.000. Selama berdagang bakso, Pani menyisihkan pendapatan hariannya untuk modal dagang esok hari. Jadi, perolehannya pada hari ini disisihkan sebagian untuk modal dagang besok. Sebelum harga barang-barang kebutuhan pokok naik, Pani tak mengalami kesulitan modal karena pendapatan hariannya senantiasa bisa disisihkan untuk modal.
Namun, sejak enam bulan lalu dia kerap mengalami kesulitan modal. Meski setiap hari dagangannya habis, Pani tak memiliki uang lebih untuk ditabung. "Sekarang semua barang mahal. Saya sendiri sulit untuk menaikkan harga bakso karena pasti tidak laku," katanya. Menurut Pani, dalam enam bulan terakhir usahanya terus merugi. Bahkan, belakangan Pani tidak bisa menyisihkan pendapatannya untuk modal dagang besok karena pendapatannya ludes untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga yang harganya kian tinggi.
"Saya juga kesulitan mendapatkan minyak tanah. Meski saya sudah menjadi warga Jakarta dan tinggal 12 tahun di sini, saya tidak kebagian kompor gas dari pemerintah," kata Pani. Selagi tak ada modal, Pani pun bertekad untuk menggunakan waktunya sepanjang Jumat itu untuk menemani istrinya yang sedang sakit. Sekitar pukul 11.00, setelah ngobrol panjang tentang kesulitan yang mereka hadapi, wanita asal Surabaya tersebut menyuruh Pani mencari angin segar.
"Dia bilang..., 'Mas kayaknya stres banget. Enggak bisa dagang dan istri lagi sakit. Mendingan Mas keluar rumah dulu ngobrol dengan tetangga. Saya tidak apa-apa'," kata Pani menceritakan kata-kata terakhir istrinya.
Pani pun beranjak ke warung sejauh sekitar 100 meter dari rumah kontrakannya. "Di warung itu, saya ngobrol dengan tetangga," katanya.
Sekitar 20 menit kemudian, kata Pani, tiba-tiba perasaannya tidak enak dan ingin cepat pulang. Pani balik ke rumah kontrakannya yang berukuran 2 m X 3 m. Sampai di rumah, pedagang bakso ini mendapati pintu rumahnya terkunci. "Saya ketuk-ketuk pintu dan memanggil-manggil istri saya. Tapi, tak ada jawaban," katanya. Pani pun mendobrak pintu rumah. Begitu pintu terbuka, ia mendapati istrinya tergantung pada seutas tali. Salah satu ujung tali tersebut dilingkarkan pada rangka rumah. Pani histeris dan berteriak memanggil nama istrinya. Teriakan itu membuat para tetangga berdatangan.
Pani lantas diungsikan ke rumah seorang warga. Saat yang sama, sebagian dari warga menghubungi petugas Polsektro Cengkareng. Ketika polisi hendak membawa jenazah Umi ke RSCM guna diotopsi, Pani menolak. Dia beralasan tak memiliki uang cukup untuk bolak-balik Cengkareng-RSCM di Salemba, Jakarta Pusat.
Penelusuran Warta Kota, banyak tetangga Pani, yang kondisi ekonominya juga mirip dengan Pani, belum mendapat kompor gas gratis yang dibagikan pada program konversi minyak tanah ke gas. Dengan demikian, mereka masih tergantung pada minyak tanah yang harganya telah selangit.
Warga kawasan itu juga banyak yang tidak memiliki kartu keluarga miskin (gakin). "Bagi warga yang sakit, semua diurus sendiri. Kalau yang mampu bisa berobat. Tapi, bagi yang tidak mampu..., tinggal menunggu nasib saja," ujar seorang pengurus RT 01/02 Kelurahan Kapuk yang enggan disebutkan namanya.
Pani shock ketika mendapati wanita yang telah 20 tahun mendampinginya tersebut tergantung di tengah rumah kontrakan mereka di RT 01/02 Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Padahal, 30 menit sebelumnya pasangan yang belum dikaruniai keturunan ini masih bercengkerama. "Saya tak menyangka kalau istri saya akan bunuh diri. Sebab, 30 menit sebelumnya kami masih ngobrol," kata Pani kepada Warta Kota, kemarin siang.
Menurut Pani, bahan obrolan siang itu beban hidup yang semakin berat karena harga minyak tanah dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya makin sulit dijangkau. Menurut Pani, dalam beberapa hari terakhir penyakit maag yang diderita istrinya kambuh. "Dia seharusnya dirawat di rumah sakit, tapi karena kami tidak punya biaya, istri saya cuma istirahat di rumah," kata pria asal Lampung ini lirih. Pani menambahkan, istrinya sudah lama mengidap sakit tukak lambung tersebut.
Lebih lanjut Pani mengatakan, pada Jumat siang itu dirinya tidak berjualan bakso karena uangnya tak cukup untuk modal dagang. Saat itu Pani hanya memegang uang Rp 60.000. Padahal, agar bisa dagang selama sehari, Pani butuh modal Rp 100.000. Selama berdagang bakso, Pani menyisihkan pendapatan hariannya untuk modal dagang esok hari. Jadi, perolehannya pada hari ini disisihkan sebagian untuk modal dagang besok. Sebelum harga barang-barang kebutuhan pokok naik, Pani tak mengalami kesulitan modal karena pendapatan hariannya senantiasa bisa disisihkan untuk modal.
Namun, sejak enam bulan lalu dia kerap mengalami kesulitan modal. Meski setiap hari dagangannya habis, Pani tak memiliki uang lebih untuk ditabung. "Sekarang semua barang mahal. Saya sendiri sulit untuk menaikkan harga bakso karena pasti tidak laku," katanya. Menurut Pani, dalam enam bulan terakhir usahanya terus merugi. Bahkan, belakangan Pani tidak bisa menyisihkan pendapatannya untuk modal dagang besok karena pendapatannya ludes untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga yang harganya kian tinggi.
"Saya juga kesulitan mendapatkan minyak tanah. Meski saya sudah menjadi warga Jakarta dan tinggal 12 tahun di sini, saya tidak kebagian kompor gas dari pemerintah," kata Pani. Selagi tak ada modal, Pani pun bertekad untuk menggunakan waktunya sepanjang Jumat itu untuk menemani istrinya yang sedang sakit. Sekitar pukul 11.00, setelah ngobrol panjang tentang kesulitan yang mereka hadapi, wanita asal Surabaya tersebut menyuruh Pani mencari angin segar.
"Dia bilang..., 'Mas kayaknya stres banget. Enggak bisa dagang dan istri lagi sakit. Mendingan Mas keluar rumah dulu ngobrol dengan tetangga. Saya tidak apa-apa'," kata Pani menceritakan kata-kata terakhir istrinya.
Pani pun beranjak ke warung sejauh sekitar 100 meter dari rumah kontrakannya. "Di warung itu, saya ngobrol dengan tetangga," katanya.
Sekitar 20 menit kemudian, kata Pani, tiba-tiba perasaannya tidak enak dan ingin cepat pulang. Pani balik ke rumah kontrakannya yang berukuran 2 m X 3 m. Sampai di rumah, pedagang bakso ini mendapati pintu rumahnya terkunci. "Saya ketuk-ketuk pintu dan memanggil-manggil istri saya. Tapi, tak ada jawaban," katanya. Pani pun mendobrak pintu rumah. Begitu pintu terbuka, ia mendapati istrinya tergantung pada seutas tali. Salah satu ujung tali tersebut dilingkarkan pada rangka rumah. Pani histeris dan berteriak memanggil nama istrinya. Teriakan itu membuat para tetangga berdatangan.
Pani lantas diungsikan ke rumah seorang warga. Saat yang sama, sebagian dari warga menghubungi petugas Polsektro Cengkareng. Ketika polisi hendak membawa jenazah Umi ke RSCM guna diotopsi, Pani menolak. Dia beralasan tak memiliki uang cukup untuk bolak-balik Cengkareng-RSCM di Salemba, Jakarta Pusat.
Penelusuran Warta Kota, banyak tetangga Pani, yang kondisi ekonominya juga mirip dengan Pani, belum mendapat kompor gas gratis yang dibagikan pada program konversi minyak tanah ke gas. Dengan demikian, mereka masih tergantung pada minyak tanah yang harganya telah selangit.
Warga kawasan itu juga banyak yang tidak memiliki kartu keluarga miskin (gakin). "Bagi warga yang sakit, semua diurus sendiri. Kalau yang mampu bisa berobat. Tapi, bagi yang tidak mampu..., tinggal menunggu nasib saja," ujar seorang pengurus RT 01/02 Kelurahan Kapuk yang enggan disebutkan namanya.