"Mayoritas kekerasan yang dilakukan oleh tenaga pendidik ini adalah tindak percabulan, " ujar Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, saat ditemui usai acara seminar di Universitas Muhammadiyah Magelang, Kamis (5/6).
Data ini didapatkan dari hasil laporan masyarakat serta pemberitaan yang muncul di media. Selain percabulan, tindakan lain yang menonjol adalah kekerasan fisik seperti memukul. Tahun lalu, kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru di Jawa Barat, bahkan m enyebabkan salah seorang muridnya tewas.
Dari data yang diperoleh, menurut Hadi, angka kekerasan yang dilakukan oleh guru, terlihat meningkat drastis. Sebab, pada tahun 2007, persentase kekerasan dari tenaga pendidik tersebut hanya mencapai 11,3 persen. Namun, dalam pantauan selama dua tahun ter akhir tersebut, korban terbanyak selalu berasal dari siswa SD dan SMP.
Dengan perkembangan kasus ini, diharapkan masyarakat terutama para orangtua murid dapat meningkatkan kewaspadaan dan lebih memperhatikan kegiatan belajar putra-putrinya. "Sebab, kenyataan yang terlihat dari kasus-kasus kekerasan itu membuktikan bahwa sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, " ujarnya.
Hadi mengatakan, penyebab terjadinya tindak kekerasan oleh para guru tersebut, perlu diteliti lebih lanjut. Dimungkinkan, hal ini terjadi karena beban pekerjaan guru semakin berat dan tingkat stres yang dialami semakin tinggi. Dengan kondisi ini, mereka p un akhirnya lupa pada norma-norma dasar dan tugas utama melindungi murid.
Namun, bisa jadi, kasus ini sekaligus mengindikasikan bahwa tingkat pengawasan yang dilakukan oleh para kepala sekolah, orangtua murid, dan masyarakat sekitar sekolah, semakin lemah, paparnya. Angka kekerasan ini bisa akan terlihat mencapai puncaknya pada bulan Juni dan Juli. Pola ini pun, perlu diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan lokasi kejadian, 29,6 persen kasus kekerasan yang dialami anak-anak terjadi di Jawa Barat dan 16,3 persen di Banten. Selain guru, pelaku kekerasan lainnya berada pada nomor urut kedua terbanyak adalah, sesama anak, 15,4 persen, dan aparat ata u oknum 12 persen.
Mengacu pada kondisi tersebut, Hadi mengatakan, diperlukan serangkaian langkah untuk menyelamatkan anak-anak. Dalam hal ini, pemerintah harus rutin melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang hak-hak anak, memberikan hukuman yang berat bagi pelaku kej ahatan terhadap anak-anak, dan menerapkan kebijakan perencanaan pembangunan berbasis anak.
Selain itu, perguruan tinggi diharapkan pula berperan serta dengan melakukan pengkajian tentang hak anak dan perlindungannya. Di berbagai lembaga pendidikan mulai dari SD hingga SMA, diperlukan pula adanya model pembelajaran alternatif untuk membantu anak -anak bermasalah.