Jangan percaya bila ada pasangan yang mengaku tak pernah konflik. Karena yang namanya perkawinan, akan senantiasa diintai oleh konflik, dari konflik kecil hingga besar. Soalnya, suami-istri itu merupakan dua pribadi yang berbeda. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, mempunyai keinginan dan sikap yang berbeda. Misi, tujuan, dan visi perkawinan mereka juga berbeda. "Nah, perbedaan-perbedaan ini merupakan unsur yang bisa menimbulkan konflik," ujar Ieda Poernomo Sigit Sidi.
Tak masalah apakah pasangan tersebut sudah berpacaran dalam waktu lama sekalipun, "konflik tetap saja akan muncul," lanjut Ieda. Karena begitu memasuki perkawinan, kedua pribadi yang berbeda ini akan dipertemukan. "Nah, pada waktu bertemu itulah bisa saja aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan konflik," tambah psikolog wanita, anak, dan keluarga ini. Maklumlah, setelah menikah orang biasanya baru tahu semuanya, termasuk segala hal yang jelek dari pasangannya. Makanya, nggak aneh lagi kalau kemudian timbul konflik.
Jenis Konflik
Perlu diketahui, segala hal bisa menjadi pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Soal selera, misalnya. Suami tak suka sayur lodeh tapi malah sayur itu yang sering dimasak oleh si istri lantaran ia suka. Terang dong si suami kesal, "Sudah tahu aku enggak suka sayur lodeh, tapi kok masih kamu suguhkan juga?"
Begitu juga soal pengaturan waktu pada suami-istri, baik waktu di dalam maupun di luar rumah. Misalnya, "Saya sudah pulang, tapi kok kamu belum pulang. Berapa kali dalam seminggu kamu meninggalkan rumah di akhir pekan?" Belum lagi soal pengasuhan anak yang berbeda, "Apalagi jika masing-masing merasa dirinya benar, paling tahu, paling bisa menjanjikan kesuksesan buat anak," kata Ieda.
Demikian pula dalam hal berhubungan seks, mulai soal tempat tidurnya sampai ke cara-cara berhubungan. Bahkan, bentuk komunikasi di antara suami-istri pun bisa menimbulkan konflik. "Kita berkomunikasinya dengan cara bagaimana? Apakah mengatakan semua apa yang kita simpan atau hanya diam saja, memendam semua di dalam hati? Hal ini bisa menimbulkan konflik karena satu sama lain tidak cocok."
Bagaimana tanggapan si pasangan terhadap perbedaan-perbedaan tersebut juga bisa menimbulkan konflik. Misalnya, dia "telan" saja apa yang ada dengan pikiran, "Memang sudah nasib saya begini." Atau, malah dia cari makanan di luar, misalnya, dan makanan di rumah enggak "disenggol" sama sekali. "Nah, itu, kan, konlik lagi!" tukas Ieda.
Yang pasti, semakin luas perbedaan di antara suami-istri akan semakin memungkinkan munculnya konflik-konflik besar, sehingga usaha suami-istri untuk mempertemukan persepsi, visi dan misi dalam membina rumah tangga menjadi lebih besar lagi. Itulah mengapa Ieda kerap menganjurkan untuk mencari pasangan se-level agar tak terlalu jauh "jurang" perbedaannya, sehingga konflik yang muncul pun tak terlalu tajam.
Namun begitu, bukan berarti kita salah pilih pasangan bila kemudian konflik datang bertubi-tubi. Karena dengan siapapun kita menikah, toh, tak menjamin perkawinan kita bakal terbebas dari konflik. Iya, kan! Yang sering terjadi adalah, kita salah duga atau salah niat, begitu kata Ieda. Misalnya, "Biarin, deh, nanti kalau sudah kawin ia juga akan sadar dengan sendirinya." Padahal, tidak demikian. Karena, terangnya, "karakter seseorang sudah terbentuk hingga ia dewasa dan menikah." Selain itu, "Setiap orang mempunyai hak untuk menjadi dirinya sendiri."
Mengelola Konflik
Lantas, bagaimana, dong? "Ya, suami-istri harus berusaha mempertemukan karakter yang berbeda itu," tukas Ieda. Dalam bahasa lain, kita harus bisa mengelola konflik yang ada dengan baik. "Suami-istri harus melihat konflik sebagai suatu titik yang menunjukkan adanya perbedaan, dan oleh karena itu ada yang harus dipertemukan, disepakati, serta dipahami bersama-sama. Dengan demikian, konflik tersebut ibarat tumpukan batu bata yang ditata untuk menjadi sebuah bangunan kokoh," tuturnya.
Jadi, tandas Ieda, suami-istri, khususnya pasangan muda, tak perlu takut dengan adanya konflik yang muncul dalam rumah tangga. "Justru dengan adanya konflik akan membuat suami-istri menjadi berkembang dan maju. Mereka akan menjadi semakin matang." Karena konflik adalah fundamen untuk membentuk rumah tangga. Dengan demikian, suami-istri akan mampu bertahan terhadap goncangan lain yang lebih besar.
Nah, agar kita bisa mengelola konflik dengan baik, maka kita harus membicarakan perbedaan yang ada dengan pasangan. "Tapi sebelum membicarakannya kita harus lihat situasi dan kondisinya dulu, apakah memang bisa dibicarakan pada saat itu ataukah perlu waktu dan tempat khusus untuk membicarakannya?" Ieda mengingatkan. Soalnya, kita, kan sedang berusaha mempertemukan pendapat-pendapat yang berbeda. Sementara dalam situasi konflik kita biasanya tengah dilanda emosi. Nah, biasanya kalau orang lagi emosi, apa saja bisa keluar sehingga persoalan bisa merembet-rembet ke mana-mana. Kalau sudah begitu, bukannya menyelesaikan masalah malah mempertajam masalah. Iya, kan!
Untuk itu, saran Ieda, sebaiknya yang berkepala dingin harus membantu yang sedang panas. "Namanya pasangan, maka keseimbangan harus tetap dijaga." Misalnya, "Tadi aku telepon kamu ke kantor, kok, kamu enggak ada. Ke mana, sih?" Bila reaksinya malah meledak, tanggapilah dengan kepala dingin, "Aku cuma tanya, kok. Ya, sudah kalau kamu enggak suka menjawabnya." Nanti, setelah keduanya tenang dan mesra, bicarakan kembali masalah tersebut, "Tadi aku cuma tanya, tapi, kok, kamu marah. Jadi bagaimana sebaiknya agar kamu enggak marah?" Dengan begitu, masing-masing jadi belajar untuk saling memahami.
Tapi jangan mentang-mentang harus memperhatikan situasi dan kondisi, lantas konflik tersebut disimpan dalam waktu lama. Karena kalau terlalu lama, pasangan Anda akan heran dan lupa pada masalah tersebut, "Kok, baru sekarang dibuka?" "Cukuplah sehari atau dua hari hingga seminggu ditundanya," kata Ieda. Sambil Anda mencari waktu penyelesaian kala pasangan Anda sedang dalam situasi emosi yang enak, tak menunggu sesuatu atau mengerjakan sesuatu.
Memang, diakui Ieda, pasangan muda cenderung lebih mudah meledak. "Saya kira karena faktor emosi. Karena kalau pemahaman, sampai berapa puluh tahun pun setiap pasangan harus belajar terus dalam memahami pasangannya. Jangan lupa, manusia itu dinamis, berkembang terus, sehingga sikap pasangan Anda 5 tahun lagi belum tentu sama dengan yang sekarang." Karena itulah yang diperlukan adalah kemampuan pengendalian emosi.
Harap dipahami, lanjut Ieda, keluarga kita mungkin bisa memahami dan tak protes dengan ekspresi kemarahan kita. Entah itu dengan cara meledak-ledak atau bungkam 1000 bahasa dan mengunci diri di kamar. Tapi ketika kita memasuki perkawinan, pasangan kita belum tentu terbiasa dan mengerti bahwa kita itu kalau marah seperti itu, dan dia pun belum tentu bisa menerima. "Jadi, kita harus menyadari dulu, apakah kebiasaan kita marah tersebut merugikan diri kita dan orang lain atau tidak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka bisa ada perubahan. Kalau tidak, ya, jangan harap akan ada perubahan."
Bila kita tetap ngotot, misalnya, "Ya, terserah. Pokoknya beginilah cara aku marah. Sejak dulu juga aku memang begini. Siapa suruh kamu mau jadi pasanganku!", menurut Ieda, sebaiknya tak usah kawin saja. "Yang namanya perkawinan itu membutuhkan penyesuaian. Masing-masing pihak harus berusaha untuk saling menyesuaikan. Jangan cuma maunya membawa caranya sendiri," tuturnya.
Tentunya pihak yang lain harus memberi kesempatan kepada pasangannya untuk berubah. Jangan malah menuntut agar pasangannya berubah dalam sekejap, karena tak ada orang yang bisa berubah dalam satu waktu. "Jadi, bicarakanlah berdua dan buatlah kesepakatan bersama." Misalnya, "Oke, kalau aku mulai ngomong keras atau teriak-teriak, kamu ingatkan." Si pasangan pun, "Oke, jadi kalau aku kasih isyarat telunjuk di bibir berarti kamu harus mulai memelankan omongan kamu, ya. Dan kamu tidak boleh marah karenanya." Nah, hasilnya akan enak bukan?
Cari Pihak Ketiga
Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik, lanjut Ieda, hubungan suami-istri akan bertambah dekat. "Timbul wawasan baru pada salah satu pihak bahwa pasangannya, 'Oh, begitu, toh, kamu itu.' Ia jadi lebih mengenal pasangannya sehingga membuang prasangka-prasangka yang ada." Tapi kalau tak terselesaikan, apalagi kedua-duanya ngotot dengan maunya sendiri, maka akan merusak perkawinan.
Selain itu, masing-masing pihak juga harus introspeksi diri agar konflik tak terus-menerus terjadi pada kasus yang sama. Dari sini bisa diketahui, apakah selagi konflik terjadi, kita memberikan kontribusi untuk mendekatkan atau malah merusak. Kalau kontribusinya merusak, ya, nggak heran jika konfliknya mengenai yang itu-itu lagi.
Jadi, tandas Ieda, bila ada konflik, "Anda harus lihat, mengapa konflik itu bisa terjadi? Pahami latar belakangnya, kemudian tarik ke depan, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik itu? Anda mau ngotot terus atau diselesaikan."
Bila ternyata konflik tersebut tak bisa diselesaikan berdua, saran Ieda, carilah pihak ketiga untuk mendapatkan masukan. "Lebih baik konselor perkawinan. Selain profesional, ia juga tak ada ikatan emosional apa-apa." Lagipula, dengan menghubungi konselor perkawinan, disamping dapat membantu menyelesaikan konflik, juga dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan kita dalam me-manage konflik.