SETELAH 10 TAHUN MENIKAH AKHIRNYA HAMIL - APA SAJA YANG DILAKUKAN ?
Kami menikah pada bulan Maret 1997. Pada bulan keempat, karena belum hamil dan juga untuk antisipasi karena saya sudah 29 th dan istri 28th, kami konsultasi ke dokter Hanny Sumampouw, SpOG. Ketika istri diperiksa ada peradangan sehingga ada yang perlu diterapi (dibersihkan). Kalau tidak salah istilahnya `dikoter` (sorry agak lupa, sdh lama banget)
Karena jika tidak, akan sulit hamil. Hanya beberapa bulan sudah sembuh, namun belum hamil juga. Saat itu kami masih tenang-tenang saja, karena banyak kegiatan kami yang mungkin membuat capek. Disamping istri sedang terapi, saya sedang mengikuti sekolah lanjutan di sore/malam hari setelah kerja, sedang renovasi dan kemudian persiapan pindah ke rumah baru, dsb.
Psikologis dan support pasangan
Beberapa bulan pernikahan kami, saya bertemu rekan sekerja, namanya Sammy Lango. Sengaja saya sebutkan namanya karena saya ingin sekali bertemu, ingin mengucapkan rterima kasih kepadanya. Dia berkata bahwa kalau istri belum hamil jangan sekali-kali salahkan istri atau beri beban istri, tapi berikan support dan jaga perasaannya. Dan, ingat katanya, yang ’buat anak’adalah berdua, jadi masing-masing sahamnya 50%, tidak ada yang dominan. Wah kayak saham perusahaan aja, biar gak serius amat bacanya, he... he... Tapi apa yg dia katakan tsb benar adanya.
Katanya juga, suami jangan egois, juga harus mau diperiksa, mungkin masalah ada di suami. Saya ingin mengatakan hal ini kepada sesama suami karena banyak sekali yang tidak atau kurang support terhadap masalah ini.
Suami periksa
Menjelang setahun menikah (’98), sekalian istri kontrol dan hasilnya sudah bagus, saya minta dan kemudian diperiksa oleh dokter Hanny. Memang keadaan saya (sperma) tidak excellent, tapi kata dokter cukup baik. Mungkin pada saat itu kami dari luar kota, letih, periksa tidak di lab tapi di rumah Sperma dibawa ke lab, tergesa-gesa, dsb, (maklum belum berpengalaman). Ketika saya periksa lagi lansgung di lab dengan kondisi yg lebih relax ternyata hasilnya baik/excellent.
Kata dokter kami sudah ’curi start’. Biasanya untuk pasangan infertil, baru periksa dan berobat setelah 1 tahun pernikahan belum hamil. Namun tepat setahun pernikahan, kami berdua sudah dalam keadaan baik.. Disamping itu sekolah saya sudah selesai, dan kami sudah menempati rumah sendiri. Sehingga kami beranggapan semua masalah sudah teratasi. Saat ini Dr. Hanny sudah meninggal dunia. Semoga arwahnya diterim Allah SWT.
Berobat ke Bp. Iwan Komar.
Setelah secara medis dinyatakan sehat dan istri belum hamil, kami mencoba terapi lain, dengan Pak Iwan Komar. Beliau ahli shiatsu (pijat) dan mengatakan kandungan istri saya miring. Penyebab bisa macam-macam, mungkin fisik (pernah jatuh, dll), atau juga psikis (stress, capek, dll). Setelah dipijat dua kali, sudah dinyatakan baik. Ketika saya minta diperiksa, beliau minta hasil medis saya, dan katanya tidak ada masalah. Ternyata beliau seorang dokter kandungan juga, sehingga kami makin yakin.
Terakhir kami periksa, istri saya tidak dipijat lagi krn sdh sembuh. Ketika diraba perutnya, diperkirakan berhasil. Ada nasihat yg bagus sekali sebelum kami pulang bhw jngn terlalu berharap/gembira dahulu agar tidak kecewa. Ternyata benar juga. Pagi-pagi sebelum kami ke dokter, istri mens. Ia sangat ’down’ meskipun sdh ada nasihat. Hari itu HUT saya. Saya undang saja teman2 lunch–rumah tidak jauh dari kantor- dia masak & setuju, alhamdulillah agak terobati. Sebelumnya sy info mereka tdk usah tanya2 soal kehamilan & sedikit saya jelaskan kejadian itu.
Berobat, terapi Dr. Harun Harahap
Setelah beberapa bulan belum hamil juga, kami sepakat untuk kembali ke medis (akhir ’98). Setelah cari informasi kami ke Dr. Harun Harahap di RS Eva Sari Rawamangun. Terapi yang harus dilalui, dari mulai
1.Hidrotubasi (ditiup),
2.HSG (dialiri cairan),
3.di’bestral’, (diathermi/dipanaskan)
4.inseminasi.
Semua hasilnya baik (paten). Di samping itu tiap pagi harus ukur suhu tubuh, dibuat grafik, utk mengetahui masa subur, kapan harus berhubugan, dll. Pernah saya buru2 pergi dr kantor, bilangnya sih mau berobat ke dokter padahal siang/sore itu harus ’coitus’ sesuai jadwal. Kami sering tertawa jika ingat masa-masa itu, apalagi masih ’muda’ bo ... Eh sekarang juga masih muda juga kok, he.... he.... Dan belum berhasil. Mungkin pake ada acara bohong segala ya ...
Saya jg selalu minta diperiksa krna nasihat kawan saya tersebut benar lekat di benak say. Terapi di atas juga tdk satu kali saja, sampai beberapa kali. Jika teringat hal ini saya sedih, krn begitu banyak terapi yg harus dilalui istri.
Suatu saat, krn sy sdng dinas ke luar kota, dia harus kontrol & datang/nyetir sendiri, dan saat itu juga langsung menjalani HSG. Saya baru mengetahui setelah saya telepon dia. Dan lagi baru malam harinya saya baru telepon karena acara tidak kunjung selesai. Seharusnya saya langsung telepon untuk berikan support atau kasih saran, padahal ada HP, tapi saya menunggu sampai acara selesai dan baru telepon ketika sdh msk kamar hotel. Alangkan egoisnya saya. Sejak saat itu sy lebih berhati-hati jika waktunya kontrol ke dokter.
Ketika belum berhasil hamil juga, & dokter juga menyatakan tidak ada masalah, akhirnya kami minta ijin cuti dokter & dokter mengijinkan atau dokter yang suruh kami cuti, sorry agak lupa. Mungkin dg demikian kami akan relax, tidak ’dikejar target, & berhasil. Hampir setahun, kami kontrol lagi, tapi alangkah terkejutnya kami ketika mendaftar, ternyata Dr. Harun telah meninggal dunia. Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah SWT.
Terapi lain.
Di sela-sela pengobatan medis, banyak terapi lain yang kami lakukan, antara lain :
1. Dari pijat oleh ibu-ibu setengah baya atau sudah tua, Ada juga ibu lain yang menerapkan terapi unik. Setiap pijat, kami berdua diluluri untuk membersihkan tubuh sehingga seperti layaknya pengantin baru. Mula-mula saya agak ’risih’. Lama2 enak juga tubuh jadi bersih, wajah berseri-seri, serasa 10 tahun lebih muda, suasana seperti saat honeymoon terus (siap tempur terus, he ... he....). Begitu kami dielaskan tujuannya. Sekarang lagi trend yg namanya `spa`. Mungkin yg kami lakukan jaman itu adalah `spa` meskipun spa rumahan, ha ... ha....
2. Kami juga melakukan tusuk jarum, bahkan sampai dua kali. Pertama ke Bp. Hembing di daerah Karang Tengan/Bona Indah. Kedua ke Bp. Andi di daerah Matraman.
3.Kami juga makan makanan yang disarankan dari pucuk kurma, toge, dsb.
4.Kami juga ke ’orang pintar`. Memang hal ini tidak bisa diterima semua orang. Namun prinsip kami yg penting tidak `syirik` (menyekutukan Allah). Mereka juga memberikan bimbingan serta doa-doa yang menetramkan.
Terapi ini sering tempatnya jauh sehingga memerlukan waktu dan tenaga ekstra. Kami punya tips, agar tetap semangat. Kami selalu cari `sesuatu` atau hal lain yg menyenangkan ketika akan berobat. Hal ini secara tidak sengaja kami dapatkan dari teman kami yang tahu makanan-makanan di rumah sakit. Mula-mula saya pikir berobat kok cari makanan. Tapi setelah dipikir-pikir benar juga agar tidak bosan/jenuh. Misalnya ketika pijat ke Ibu Syahbani di Bogor kami menemukan warung makan sederhana enak banget, tapi murah. Jadi selain berobat, karena akan makan siang di situ, jadinya tetap semangat.
Biaya adalah satu hal yg mnjdi masalah shg terapi tdk berlanjut. Saya jg mengalami kesulitan ini, krn tdk mengira wkt utk terapi ini akan mnjd sngt lama & tdk ada penggantian dri kantor krn km memilih sendiri dokterrnya. Saya ingin membagi tipsnya demikian. Meskipun blm ada anak, tp mind-set (paradigma) saya adlh punya anak. Sering sy bayangkan dia akan seperti apa, wajahnya, perilakunya, dsb. Saya pernah dengar suatu teori utk menulismemvisualisasikan visi kita agar selalu menancap di benak kita berusaha tk mewujudkan.
Termasuk dlm hal ini biayanya. Jk punya bayi pasti ada biaya di depan mata, spt susu, baju/popok, dll. Dana krn belum terpakai, saya sisihkan tiap bulan. Misal gaji 3jt. Biaya jika punya anak (mis 10%)=300 ribu, Dana ini adalah ‘hak’ anak kami, tp sementara ini digunakan utk mewujudkan ‘anak’ kami ini. Jika berobat, maka habislah uang itu. Misal tdk berobat krn sesuatu hal slm 4 bln (jenuh, berhalangan, dsb), maka akan ada 4 x 300 ribu = 1,2 jt. Dana ini cukup utk yg perlu biaya besar, mis cek darah, inseminasi, dll. Cara ini cukup berhasil. Disiplin & konsistensi menjadi kunci. Bisa dibuat rekening sendiri utk ini, langsung dipotong dr bank penerima gaji. Yah kita semua tahu jika sudah masuk dompet, cepet banget tuh duit habis, bener nggak ? he ... he...
Tapi yg lebih penting lagi adalah `mind-set`. Saya tanamkan pd diri saya bhw uang itu adlh ’hak’ anak saya. Jk saya pakai, saya ibaratkan seperti tidak memberikan susu selama 1 bulan. Alangkah jahatnya saya jika melakukan hal itu. Awalnya berat sekali. Dan saya kadang melakukan juga hal `jahat` itu. Saya ’beperang’ melawan diri sendiri. Seperti hadits Nabi : ”Perang yang paling berat adalah perang melawan (hawa nafsu) sendiri”. Lama kelamaan berhasil jg. Seiring dengan berjalannya waktu krna meningkatnya gaji, meskipun prosentase tetap, tp jmlh dana semakin bertambah. Terlebih jk ada perioda dimana dana tsb tdk kami gunakan (tdk kontrol dr), jmlh akan bertambah lebih besar lagi.
Keluarga
Alhamdulillah, kami bersyukur keluarga kami, khususnya orang tua sangat mendukung aspek psikologis kami. Baik ortu maupun mertua tidak pernah memberikan beban. Mereka hanya tanya jk kami jelaskan. Kalaupun ada usul-usul ttg terapi selalu disampaikan dengan hati-hati. Bahkan pernah km ditawarkan utk terapi di luar negeri dg biaya yg akan dipikul bersama-sama seluruh keluarga. Tapi belum kami lakukan krn kami sdg lakukan terapi kami. Kami pernah dpt saran dr teman kami mungkin kami pernah melakukan kesalahan kpd ortu kami yg belum kami mintakan maaf. Keridlaan Allah tergantung keridlaan orang tua. Temannya melakukan hal itu berhasil punya anak. Hal ini kami lakukan jg. Agar tidak mereka tidak kaget kami drluar kota tiba-tiba datang minta maaf, kami sampaikan pd wkt mudik Idhul Fitri. Kami msh ingat sekali tlh membuat mereka terharu. tidak ada kesalahan kami yang menyakitkan hati mereka dan belum dimaafkan. Syukurlah jika demikian.
Kegiatan istri.
Sejak menikah istri saya sudah banyak berkorban soal karir. Sesuai dengan background studynya, dia sudah memutuskan utk tdk bekerja di Deplu karena pasti akan ’berpisah’ dg saya jika ditempatkan di luar negeri (dia tahu saya, suami tidak mungkin ’ikut’ dia), meskipun perusahaan tempat sy bekerja juga mempunyai banyak cabang di luar negeri. Kami sepakat utk memisahkan urusan kedinasan & personal. Sjk sulit hamil, dia berkorban lagi tidak bekerja fulltime agar bisa konsentrasi ke masalah ini.
Sebenarnya bnyk bisnis yg bs dikerjakan di lingkungan kami. Sy ingin dia punya aktifitas seperti itu. Tapi dia merasa tidak berbakat di bidang bisnis/marketing, pokoknya yang berbau jualan. Saat2 adalah saat yg berat bagi dia. Sendiri di rumah, ekspetasi yang besar untuk hamil. Kalau sy sih bisa melupakan sejenak masalah itu dg setiap hari ke kantor, sy jg tipe yang aktif baik di organisasi & olah raga. Dia, meskipun banyak temannya tp tdk terlalu aktif. Apalagi jika kumpul-kumpul yg tidak ada manfaatnya (gosip, dsb).
Banyak orang berkata (tanpa bermaksud menyombongkan diri) rumah tangga (RT) kami harmonis. Kami ditanya, pernah nggak sih bertengkar ? Namanya RT tentu saja pernah, tapi tidak hal yang prinsip. Untuk masalah ’baby program’ biasanya begini. Setelah dari dokter pasti ditentukan kapan masa subur, dan kapan sebaiknya berhubungan. Maunya dia saya diam di rumah, aktifitas lain ditinggalkan. Saya berpendapat sama, tapi tidak semua nda olah raga sebaiknya tetap dijalankan. Dalam hal ini kami belum senada. Jadi waktu saya pulang dia masih agak ngambek. Mungkin dia selama ini sudah bekorban macam2, jadi maunya saya juga. Saya belum memahami benar kondisinya. Dia sendiri di rumah. Istri saya anak paling kecil. Ortu dan semua kakaknya tinggal di luar kota (Surabaya). Kadang hal ini sampai berlarut-larut. Sampai pada suatu saat kami berbicara berdua untuk saling memahami dan kesimpulannya ”Kami berdua dalam keadaan baik-baik saja sulit punya anak, apalagi pakai acara berantem, kapan mau jadinya?”. Sejak saat itu setiap ada masalah tidak akan berlarut-larut, secepat mungkin diselesaikan. Kami mulai mengambil hikmah. Belum punya anak tidak menjadikan RT kami goyah, tapi malah makin intim (sengaja pakai istilah ini agar tepat menggambarkan suasananya, he .... he....)
Ketika kuliah dia belajar Bahasa Mandarin. Berhubung sudah ada basic maka dia kursus lagi. Waktu intensif terapi kami panggil guru ke rumah. Selanjutnya dia lebih suka datang ke tempat kursus. Istri saya, kata banyak orang (saya juga, abis suaminya he ... he....) cantik, berkulit putih. Meskipun Jawa asli, tapi berwajah oriental. Jadi klop sudah.
Tahun 2001 setelah bicara dengan saya, dia putuskan untuk belajar serius dengan kuliah lagi di Sastra Cina. Agar cepat selesai dan segera diimplementasikan, sengaja ambil D3.
Bayangkan teman-temannya 15 tahun lebih muda. Dosennya pun lebih muda dari dia. Untungnya dia juga berwajah dan berpenampilan muda.
Suasana RT kami berubah. Dia punya kesibukan rutinitas yg sesuai dg keinginannya. Tidak ada gosip yg ngomongin RT orang lain. Abis temannya ABG semua. Dia jadi ’ibu’-nya anak2. Jk akan dinas ke luar kota, sy jg tdk kepikiran lagi. Teman2nya akan berebut utk menginap di rumah. Bahkan ada yg selalu tanya, kapan sy ke luar kota lagi. Ortu mereka jg pada setuju. Saya jg jadi tahu bahasa gaul. Kata-kata seperti ”jaim”, ”TP”, ”Ilfeel”, ”CiLeBeK” sudah saya ketahui sebelum ’ngetop’, he ... he ... he... Saya melihat dg kegiatan ini bnyk manfaatnya. Naluri ’keibuan’ mulai muncul dg adanya anak2 itu. Dia banyak diminta saran-saran. Dan yang paling sering apalagi kalau bkn soal percowokan.
Tahun 2004 dia lulus. Dia pilih mengajar privat. Agak banyak muridnya. Dari anak-anak SD, orang bekerja, sampai orang Cina (dari Beijing) yang belajar Bahasa Inggris sama dia tapi pengantarnya Bhs Mandarin. Akhirnya dia lebih konsentrasi utk mengajar privat anak-anak SD & hanya di sekitar rumah agar waktu flexible & tidak capek krn kami ada ’baby program’. Dia lebih suka dtng ke rumah muridnya krn kalau datang ke rumah kami khawatir terganggu urusan pribadi (ada tamu, telpon, dsb). Tapi ada satu ibu yg ingin anaknya ke rumah kami agar anak itu bisa lebih ’berani’. Jd saya sering lihat dia mengajar. Saya bersyukur sekali. Allah SWT memberikan hikmahnya. Naluri keibuannya pun muncul lagi. Mengajar anak SD tentu lain dg mengajar orang dewasa karena ada unsur ’mendidik’ yang lebih besar. Kadang baru datang sudah ngambek krn abis diomelin mamanya shg harus dirayu-rayu dulu. Kadang datang lebih cepat krn mau nonton TV (di rumahnya pas dilarang). Kadang istri saya yang ngambek karena dia bandel. Yah seperti hubungan ibu dan anak. Apalagi dari usianya saya bayangkan jika kami menikah dan langsung punya anak, maka usianya +/- seperti dia. Wah jadi agak ’melo’ nih ........
T 2001 (tahun ke-4) krn dr kami (dr. Harun Harahap) meninggal dunia, kami mencari dokter pengganti. Saya bebaskan istri utk mencari agar pd wkt periksa dia tdk beban/stress. Katanya klu bisa cari dr yg tidak ’periksa dalam’ krn slm ini jika akan diperiksa dalam selalu stress
Akhirnya kami memilih Nugroho Kampono, SPOG. Beliau selalu periksa pakai USG, tidak periksa dalam. Disamping itu orangnya sudah senior, sabar, kebapakan, dan komunikatif. Ada step2nya , namun setelah melihat Medical Record kami, hampir semua sudah dilakukan. Akhirnya istri periksa hormon. Ternyata hormon prolaktin tinggi (kalau tidak salah 36, normal max 29). Kami senang sekali karena berpikir masalahnya sudah diketahui. Diberi obat, dalam 2 bulan sudah turun jauh sekali (5). Dr & kami optimis sekali akan hamil dlm wkt dekat.
Sayapun minta diperiksa, dan hasilnya juga baik. Setelah hormon prolaktin normal, tetap saja kehamilan itu belum muncul. Setiap bulan kami periksa, sampai-sampai hapal benar obat yang diberikan seperti Profetil, Dalfarol, Tribestan, Parlodel, dll. apotik mana aja juga harganya, karena pasti cari yang paling murah, he … he….
Tahun 2002 kami tidak ke dokter sama sekali karena dokter tidak menemukan hal lain. Kami coba cara lain . Istri saya juga punya kesibukan rutin (kuliah), sedang seru-serunya, dia juga enjoy banget ketemu ’adik-adiknya’.
Tahun 2003 kami dapat pergi Haji. Kami bersyukur sekali mendapat berkah ini. Bayangkan saja, kami mendaftar 2 minggu sebelum berangkat. Sangat mendadak dan dengan biaya yg jauh lebih murah dari reguler. Tentu saja kami terima dan tidak perlu repot pikirkan rumah, tinggal anak, dsb karena mamang baru kami berdua. Selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa.
Tahun 2003 ini kami ke dr. Nugroho lagi. Hanya 1 terapi yg dilakukan, lagi2 Hydrotubasi, untuk memastikan apakah perlu ke langkah selanjutnya misalnya bayi tabung. Hasilnya bagus (paten), tidak ada masalah, tapi tetap belum hamil juga.
Th 2004 kami ke dokter hanya sesekali jika di rasa ada gangguan.
Th 2005, (th ke-8 pernikahan kami), tahun kritis, bagi kami. Saya ingat sekali kejadian ini karena hal ini akan mengubah segalanya. Dr Nugroho memandang kami berdua, menyatakan semua terapi sudah dilakukan, kami berdua sudah tidak ada masalah, semua sudah dilakukan, dan agar lebih banyak berdoa. Tidak ada terapi lagi.
Banyak hal berkecamuk di dalam hati kami. Kami merasa dokter sudah `give up`, rencana untuk ganti dokter, stop berobat, dll. Saya sbg kepala keluarga harus mengambil inisiatif. Suatu malam saya ingin berbicara dg istri tentang rencana selanjutnya, apakah :
1.Kami terus berobat, dan sampai kapan
2.Apakah akan ganti dokter, siapa, dimana, dll
3.Dan kemungkinan TERJELEK kami tidak punya anak, maka kami akan mengambil/adopsi anak, dsb
Di sini aspek spiritual sangat berperan. Sengaja saya memakai istilah spiritual (bukan religius) karena bersifat universal, tidak tergantung pada agama tertentu.
Tapi rencana saya itu tidak pernah terwujud. Ketika kata ’TERJELEK’ muncul di benak saya, saya diingatkan oleh Allah SWT. Mungkin belum saatnya kami punya anak, bahkan mungkin menurut Allah SWT tidak punya anak saat ini adalah hal yang ’TERBAIK’ bagi kami, meskipun kami tetap mengharapkannya. Mungkin anak kami baru diberikan di akhirat kelak. Hanya Allah SWT yang mengetahui hal yang terbaik bagi kami. Jadi doa kami selama ini yang to the point, menginginkan anak, kami ubah/tambahkan sedikit sehingga menjadi :
"Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui. Jika ini kehendak-Mu dan menurut Engkau mempunyai keturunan memang -TERBAIK- bagi kami, berilah kami keturunan. Amin"
Ketika kami ceritakan hal ini kepada orang yang mengerti ttg agama, dikatakan bahwa itulah saat itulah kami benar-benar pasrah kpd Yang Maha Kuasa. Mungkin selama ini kami hanya pasrah di bibir dan pikiran saja, belum seluruh jiwa kami.
Pertengahan tahun 2005 saudara sepupu saya, perempuan, ibunya meninggal dunia shg menjadi yatim piatu. Ayahnya sdh lama sekali meninggal dunia, demikian pula saudara kandungnya. Adik/kakak ipar juga tidak punya. Benar-benar sebatang kara. Dia sakit kejiwaaan (scizophrenia), shg hrs dirawat di rumah sakit. Berhubung kami yg punya `waktu luang`, kami dapat mengurus utk cari dokter, bawa ke rumah sakit, konsultasi ke dokter bersama dg anggota keluarga lain. Kami berterima kasih kepada Prof. Prayitno yang telah merawat dia dengan penuh perhatian. Yang unik adalah usianya lebih tua dari saya. Jika saya dan istri, atau saudara lain jenguk , banyak yang bingung kenapa tidak ada orang tua/wali. Ketika kami jelaskan baru mereka mengerti. Sampai sekarang dia masih dirawat di rumah sakit.
Tahun 2005 saya pindah bagian di kantor dimana bagian tersebut terlibat dalam kegiatan sosial. Saya harus ke Aceh untuk memberikan sekedar bantuan kepada anak-anak yatim piatu korban tsunami. Sebenarnya bukan saya yang harus pergi. Namun karena personil lain sedang cuti karena liburan sekolah anak-anak, sehingga hanya saya yang available. Selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Saya mengunjungi anak-anak yatim piatu yang dikelola sepasang suami istri, Pak Mirdas & Bu Draga. Sengaja sy sebutkan namanya, krn pandangan mereka merubah hidup saya. Kami saling cerita dan ternyata mereka juga belum punya anak. Bahkan kalau tidak salah karena sesuatu hal, kecil kemungkinannya atau tidak dapat sama sekali. Dalam suatu percakapan saya dapat informasi bahwa mereka akan mengangkat salah satu dari anak-anak yatim piatu menjadi anaknya. Ketika saya tanyakan mereka membenarkan, namun katanya, mereka masih memikirkan satu hal. Saya kira pertimbangan mereka seperti saya, mungkin perlu cari anak yang tepat, latar belakang keluarga anak tersebut, aspek legal, dsb.
Namun jawaban mereka sungguh di luar dugaan. Jawabannya kira seperti ini (maaf jika tidak tepat benar), ”Memang kami berencana utk mengangkat salah satu dari anak itu. Namun kami msh memikirkan 1 hal. Jk kami angkat anak itu, mk kasih sayang, perhatian, wkt kami akan hanya ke anak itu. Kami khawatir tdk dapat membagi lagi waktu, perhatian, kasih sayang kami kpd anak yatim piatu lainnya yg selama kami urus”. Jawaban itu membuat saya tertegun, ”speechless” utk wkt yg ckp lama. Alangkah mulianya hati mereka. Begitu ikhlasnya. Mereka memikirkan hal yg lebih besar dg pertimbangan yg benar2 ikhlas. Setelah istri saya ditimbulkan naluri keibuannya , sekarang giliran ’kebapakan’ saya (istilahnya tepat atau tdk ya ?)
Setelah pelajaran `pasrah`, sy mendpt pelajaran ’ikhlas’. Sy mengingat-ingat apa yang telah saya lakukan selama ini. Mungkin ketika saya minta maaf kepada orang tua, salah satu alasan pergi Haji atau berbuat baik kepada orang lain karena saya belum punya & menginginkan anak. Setelah kami mempunyai, mungkin tidak kami lakukan lagi. Padahal semua itu seharusnya hanya krn keikhlasan, keikhlasan kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Pasrah tdk membuat kami hny berdiam diri. Kami seperti mendpt `kekuatan` baru yg luar biasa. Kami kumpulkan seluruh terapi yg pernah dilakukan, dari mulai hydrotubasi, HSG, USG, diathermi, pemeriksaan sperma, hasil inseminasi, hasil periksa darah, periksa hormon, obat-obat yang selama ini dimakan. Jg pengobatan lainnya, dari mulai pijat, refleksi, akupunktur, dsb. Kami jg cari tahu segala macam yg berhubungan dg infertility ini dg browsing internet, baca buku, tanya teman, tanya saudara yg dokter. dsb. Akhirnya kami tidak ganti dokter, tapi kembali ke d Nugoroho Kampono. Kami datang kami katakan kami kami sudah lakukan yang dokter sarankan , yaitu banyak berdoa (part 3.2) dan hasilnya kami minta agar istri dilakukan Laparoskopi (Lo), yg memang belum pernah dilakukan.
Tanpa kami duga saat itu jg disetujui. namun beliau mengatakan bhw beliau bukan ahlinya. Kami dirujuk keahlinya, Dr. Wachyu Hadisaputra, SpOG, KFER. Selain memang ahli Lo, beliau jg KFER (Konsultan Fertility, Endokrinologi, Reproduksi), jadi memang sub-spesialis utk yg infertil (sulit hamil). Sekedar flashback seharusnya istri diLo bulan Nopember bertepatan sy ke Aceh. Tapi ditunda oleh dr bln Desember, shngg sy bisa ke Aceh utk mendapat pelajaran ’ikhlas’. Sekali lagi selalu ada hikmah dlm setiap peristiwa. Istri di-Lo di RS YPK, Jl. Gereja Theresia, Menteng, ternyata ada Kista, Polip, Endometriosis, perlengketan jaringan. Dr Wachyu mengatakan inilah penyebanya & tdk mungkin bisa hamil jika belum diambil.
Hasil ini cukup mengagetkan. Salah satu saudara kami yg dokter kecewa sekali thd dokter Nugroho yg tdk bs mendeteksi slm 4 th kami berobat. Terlebih lagi usulan Lo ini dr kami. Berhubung kami dikirim oleh dr. Nugroho, mk oleh dr. Wachyu kami dikembalikan ke dr. Nugroho. Pelajaran2 yg kami dapatkan sngt bermanfaat. Kami ttp ke dr. Nugroho, km sampaikan terima kasih. Bagaimanapun beliau yang menyetujui utk Lo, merujuk kami ke dokter yg tepat. Tdk ada rasa kecewa, tdk ada yg perlu disesalkan. Hanya Allah SWT yg mengetahui apa yang terbaik untuk umat-Nya.
Selama ini kami berusaha utk mandiri dlm setiap terapi, termasuk ketika istri di-Lo, hanya saya yg jaga, krn saudara lain tidak avail, sy jg tdk minta Ada pelajaran berharga. Utk hal seperti Lo (termasuk operasi kecil, tapi istri dibius total, proses sekitar 30 menit-1 jam), sebaiknya ada yg lain. Ketika Lo, mendadak sy ingin buang air kecil. Sy khawatir tiba2 dipanggil dokter utk dpt penjelasan & saat itu tdk ada keluarga pasien/orang lain yg bisa dititipi. Akhirnya tergesa-gesa ke toilet, toiletnya penuh. Terpaksa ke kamar tidur istri yg jaraknya jauh & memakan waktu. Jkada yg lain bisa titip, dia yg jaga. Meskipun tidak bisa ditukar, dia yang ke toilet, saya yg tetap jaga, he ... he....
Tahun 2005 adalah tahun yang sangat sibuk bagi kami. Tapi anehnya semua dapat kami selesaikan dengan baik, bahkan kami berdua sempat merintis usaha sampingan untuk masa depan kami. Kami juga menutup tahun itu dengan pelajaran ’pasrah’ dalam hubungannya dengan Allah SWT dan ’ikhlas’ dalam hubungannya dengan sesama manusia, disamping mulai babak baru dalam aspek medis.
Setelah Lo, mulai Januari 2006 istri disuntik Tapros 3x, sehingga selama 3-4 bulan rahim ’istirahat’, tidak menstruasi. Bulan Mei akan normal lagi. Bulan Juni-Juli diprogram untuk hamil. Istri saya suka renang. Tapi beberapa tahun terakhir tidak pernah karena khawatir airnya berpengaruh pada kesehatan organ vital. Dokter menyarankan, setelah Lo agar lebih banyak gerak. Akhirnya dipilih jalan pagi/jalan cepat (low impact) di taman sekitar rumah secara teratur. Dia menemukan komunitas baru selain murid-murid dan ortunya.
Selama periode ’istirahat’ itu orang tua minta kami mendampingi untuk Umroh, karena kami sudah pernah ke sana, dan mudah utk meninggalkan rumah. Ketika kami ijin dokter, dokter mengatakan bhw kegiatan fisik Umroh sangat baik pasca Lo, juga aspek spiritualnya. Karena masih masih ’istirahat’ tidak perlu khawatir juga dapat mens. Sepertinya kebetulan, namun semua semua sudah diatur Allah SWT
Seperti telah saya ceritakan, program hamil adalah program suami-istri, keduanya punya kontribusi. Wkt kontrol bulan Februari 2006, saya minta kpd Dr. Wachyu utk diperiksa. Dan saya dirujuk ke Dr. Indra G. Mansyur Sp. And (Androlog) di RS YPK juga. Baru pertama kali ini saya diperiksa Androlog. Biasanya setelah dari lab langsung diperiksa oleh dokter istri saja.(Ginekolog).
Setelah periksa sperma dianjurkan juga sekalian (mumpung sperma masih hidup) untuk Tes Kibrik dan Isojima. Test ini untuk menguji antibodi istri dan kemampuan sperma di untuk hidup di dalam Vagina. Darah istri diambil dan dicampur dengan sperma saya, diolah di lab.
Maret 2006 hasil sperma saya cukup baik, 40jt/ml, normozoospermae (normal min 20jt) tapi ternyata Anti Sprem Antibody/ASA (antibodi istri terhadap sperma suami) sangat tinggi, nilai 8100, normal harus di bawah 64. Sehingga sperma saya ‘dimakan’. Pernah teman mengalami hal ini, solusi sederhana. Berhubungan ketika istri sakit, sehingga seluruh antibodi rendah, termasuk ASA juga rendah. Ketika saya tanyakan ke dr. Indra dijelaskan bhw hal itu bisa saja terjadi. Tapi jika berhasil hamil, dan tidak diterapi, ketika sehat ASA akan naik lagi dan akan menyerang ’janin’ (dianggap sebagai benda asing) sehingga akan menyebabkan keguguran.
Untuk menurunkan ASA itu, saran dr. Indra istri harus menjalani terapi PLI (Paternal Leucocyt Immune) sebulan atau 3 minggu sekali dan disetujui oleh Dr. Wachyu. Terapi dilakukan oleh dr. Indra di Klinik Sayyidah, Duren Sawit. Proses terapi kira2 demikian : darah saya diambil, dipisahkan darah putihnya di lab, disuntikkan ke istri. Sebelum PLI ada Food response Test (FRT) utk melihat makanan2 apa saja yg mempengaruhi. Hasil cukup baik, tidak ada yang ekstrim/pantangan (nilai +4), hanya perlu dihindari (+1). Tapi istri saya sangat disiplin. Meskipun hanya dihindari, tapi benar-benar tidak disentuhnya. Padahal enak-enak lho ... (misal teh, coklat, seafood). Hasilnya cukup mencengangkan, setelah 3x PLI, pada bulan Juni 2006 turun menjadi 200. (masih di atas normal 64). Perlu PLI ke-4 agar di bawah normal.
Untuk mempercepat kehamilan, bulan Juli 2006 kami akan menjalani inseminasi. Bulan Juni saya periksa. Alangkah terkejutnya, hasil yang selama ini normal, tiba2 jelek (hanya 7jt), oligo-, astheno-, terato-zoospermae . Bulan depannya, Juli malah lebih jelek (5jt) dan harus diolah di lab agar bisa dipisah yang baik saja. Saya jg tdk tahu kenapa, mungkin tanpa sadar jadi stress krn seperti dikejar target, dalam tekanan, dsb. Inseminasi gagal (baca : belum berhasil), kasihan istri saya.
Disini kembali aspek psikologis/emosional berperan. Sebenarnya kami masing-masing punya “senjata“ untuk saling menyalahkan. Istri saya bisa mengatakan bhw penyebab adalah jumlah sperma saya yang di bawah normal, saya terlalu sibuk bekerja, tidak memprioritaskan hal ini, tidak menyempatkan cuti, dsb. Untuk laki-laki hal ini sensitif. Kalau terdengar bahwa penyebabnya dia biasanya akan jadi minder, malu, jadi bahan ejekan, dsb. Saya juga bisa menyalahkan dia karena PLI belum selesai (ASA belum di bawah 64). Namun hal itu tidak terjadi. “Tiada kata terucap, justru kami berpegang lebih erat“. Jika anda gagal (baca : belum berhasil) n kali, anda cukup mencoba sebanyak n+1 kali. Kami menjalani kepasrahan ini. Just do the best, God will do the rest.
Kami berdua ke dr. Indra lagi. Unik juga ya suami-istri ke Androlog. Saya diterapi, ada hormonal yang mulai tinggi (mungkin krn stress, dsb). Istri juga menjalani PLI ke-4. Saya juga teratur minum madu, yang terbukti bagus untuk stamina mencari nafkah lahir (bekerja), dan bagus utk stamina nafkah batin (isi sendiri ya, he .. he...). Alhamdulillah bulan Agustus 2006, sperma saya sudah normal kembali (38jt/ml). Setelah PLI ke-4, ASA istri turun menjadi 32 (sudah bagus krn normalnya di bawah 64).
Karena belum berhasil, bulan September dan Oktober istri saya cek darah, hormon, kali ini oleh dr. Wachyu. Semua normal. Untuk kesekian kalinya, dokter mengatakan semua terapi sudah dilakukan. Kami disarankan proses normal saja. Oktober Idhul Fitri, Nopember masih suasana libur, kami tidak ke dokter. Desember kami juga tidak ke dokter, sehingga tidak minum obat apapun. Sesuai saran dokter utk normal/natural saja, disamping itu kami juga ingin ’istirahat’ dulu. Mungkin yang baca cerita saya ini juga mulai capek, perlu istirahat juga. Siklus mens istri saya teratur sekali, sehingga Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)-nya pun saya hapal, yaitu 13 Desember 2006. Meskipun banyak yang mengajak, tapi kami tutup tahun 2006 dengan berdua saja. Never ending honeymoon.
Tgl 18 Januari 2007, ketika akan mengajar, istri sy mengeluh ada ’flek’. Lngsng sj saya minta utk istirahat & ijin ortu murid utk tidak mengajar. Mereka mengeri keadaan kami & memakluminya. Sejak itu dia bnyk di rumah. Tgl 25 Januari, orang tua sy dtng ke rumah bersama kawannya yang sering memberikan nasihat ttg agama. Begitu melihat istri saya sy agak pucat, meraba perutnya, mengatakan bahwa istri saya sudah terlambat, kemungkinan besar hamil. Padahal kami tidak mengatakan apa-apa.
Stlh terlambat 2 minggu, tgl 27 Januari kami periksa ke dr Wachyu. Ketika di USG, ada rongga kecil yg terlihat. Dr mengatakan ada kemungkinan hamil tp mungkin juga tidak, diberi penguat. Diberi catatan ” Stay at home. No activity”. Bahasa yg lebih ekstrim mungkin ”Bed Rest”, tapi dr tdk memakai istilah itu.
Tl 31 Januari kami periksa pakai test pack. Dua garis itupun muncul. Kami tdk terlalu berharap, khawatir kecewa jk gagal (baca:belum berhasil), . Setelah semua yg kami alami, kami berusaha utk mengatur segala emosi, harapan, dsb. Tentu saja berdoa dg kepasrahan kpd Sang Khalik. Esoknya, tl 1 Pebruari kami kontrol ke dr lagi. Terlihat dari USG rongga makin besar sudah ada titik yang berkedip-kedip. Dr berkata, ”Minggu lalu sy tdk yakin anda hamil, krn kelihatannya rongga itu kromosom kosong. Tdk sy katakan, khawatir akan membuat kecewa. Tapi dari hasil ini sy yakin & ucapkan selamat, anda telah hamil”. Alhamdulillah. Kami berdua berpandangan, matanya memerah. Kebahagiaan yang tak terucap, hanya genggaman tangan dan kecupan di keningnya yang saya lakukan.
Setelah membeli obat, kami segera pulang. Malam itu hujan turun sangat deras, & mulai tanggal 2 Pebruari kota Jakarta dilanda banjir hebat, sulit pergi kemana-mana. ”Ya Allah, Engkau berikan waktu yg tepat bagi kami. Engkau yang mengatur seluruh peritiwa alam ini”. Malam itu pula, bertepatan dengan malam Jumat, kami sujud syukur, lama sekali. ”Saat yang TERBAIK telah Engkau tunjukkan kepada kami ya Allah. Alhamdulillahir-Robbil Alamin.”
Begitulah pengalaman kami. Aspek terapi (Medis, non medis) dan teknis (biaya, dll), aspek psikologis/emosional (hubungan suami-istri, keluarga, orang tua, teman, saudara, dsb) dan aspek spiritual sangat berperan dansaling berhubungan. Sengaja saya pakai istilah `spiritual` karena aspek ini bersifat universal, tidak terkait agama/kepercayaan tertentu. Aspek religius beserta ritualnya tentu saja sudah diatur oleh agama masing-masing.
Bahkan pada saat titik tertentu kami tidak tahu aspek yang yang berperan. Mungkin aspek spiritual adalah bagian dari aspek terapi, namun bukan fisik tapi jiwa kami yang sedang diterapi.
Mohon maaf jika ada yg kurang berkenan atau ada kesan menggurui. Saya tidak bermaksud demikian.
Harapan saya pengalaman kami ini dapat membantu, memberikan semangat, menjadi inspirasi pasangan-pasangan, keluarganya, handai taulan/kolega atau siapapun yang membutuhkan. Amin.
Pengalaman ini akan saya lanjutkan sampai dengan kelahiran bayi kami. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran juga. Komentar, saran, atau masukan lainnya sangat saya harapkan. Sampai jumpa.