Pages

Subscribe:

Soal Gizi Buruk, Perlu Optimalkan Penyuluh Kesehatan

PERAN penyuluh kesehatan harus dioptimalkan lagi dalam memberi pemahaman pada para ibu di Indonesia yang sebagian besar harus diakui masih berpendidikan rendah. Padahal, tingkat pendidikan ibu sangat mempengaruhi kualitas asuhan gizi anak termasuk pemberian Air Susu Ibu dan pemberian makanan bayi serta anak.

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (Binkesmas) Departemen Kesehatan dr Budihardja dalam Seminar Nasional bertema Problema Gizi Buruk, Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan dan Kesehatan Masyarakat di Universitas Katolik Soegijapranata, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (3/5).

Budihardja mengatakan, hampir 80 persen penderita gizi buruk berada di pedesaan terutama wilayah terepencil yang belum banyak terjangkau pendidikan. Selama pembangunan pemerintah belum menyentuh hingga ke areal pelosok, maka kasus gizi buruk dikhawatirkan akan tetap tinggi.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof Dr Totok Mardikanto mengatakan, harus ada revitalisasi penyuluhan untuk menyelamatkan ketahanan pangan di Indonesia. Masing-masing penyuluh juga jangan tertutup untuk mempelajari bidang lain. Penyuluh kesehatan juga harus mempelajari masalah pangan. Demikian juga sebaliknya, jelas Totok.

Menurut Staf Pengajar Program Magister Hukum Kesehatan Universit as Katolik Soegijapranata, Endang Wahyati menyebutkan, tingginya angka gizi buruk selama ini diakibatkan kebijakan ketahanan pangan pemerintah yang tidak konsisten. Menurut dia, sudah saatnya pemerintah merancang Undang-Undang Pangan yang khusus mengatur masalah penyediaan pangan untuk masyarakat.

Pemerintah harus bertanggungjawab sepenuhnya pada penyediaan pangan. Jika tidak dibahas secara khusus, kebijakan pangan hanya sektoral dan akhirnya tidak akan menyelesaikan masalah krisis pangan yang berdampak pada kasus gizi buruk, tutur Endang.

Budihardja mengakui, selama ini ada beberapa kendala dalam penanggulan kasus gizi buruk di Indonesia. Kendala pertama yakni perbedaan persepsi mengenai gizi buruk yang menyebabkan perbedaan respons terhadap setiap kasus. Selain itu, koordinasi lintas sektor antar Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan instansi pemerintah lainnya masih lemah.

"Hingga kini, memang belum ada konsistensi dan keberlanjutan dalam tiap penanganan kasus gizi buruk," ujarnya mengakui.